Artikel/Kajian Risalah 2012: Menjaga Momentum Film Indonesia

Tahun 2012 berakhir manis bagi catatan penonton film nasional. Terjadi persaingan ketat antara 5 cm dan Habibie & Ainun. Beredar 12 Desember, 5 cm mengumpulkan 503.186 di minggu pertamanya. Pencapaian ini dilewati Habibie & Ainun, beredar seminggu setelahnya, dengan 865.400 penonton. Perolehan sampai dengan 31 Desember: 5 cm 1.831.005, Habibie & Ainun 1.780.066. Kedua angka ini tidak beda jauh dari pendapatan total The Raid, film Indonesia terlaris ketiga tahun 2012, yakni 1.786.030 penonton. Sampai tulisan ini dibuat, Habibie & Ainun sudah mengumpulkan 4.370.376 penonton setelah 13 minggu di bioskop, terpaut tiga ratus ribu saja dari rekor pendapatan Laskar Pelangi, sementara 5 cm meraup 2.387.236 penonton dalam durasi edar yang sama.

Imbasnya tercermin di statistik penonton. Grafik menurun sejak tahun 2010 terhenti. Jumlah total penonton film Indonesia tahun 2012 adalah 18.633.027, merangkak naik dari 15.028.984 penonton pada tahun 2011 dan 16.290.076 penonton pada tahun 2010. Rata-rata jumlah penonton per film, seperti yang bisa diduga, juga naik. Ada 84 film Indonesia yang beredar di bioskop tahun 2012 kemarin, dengan rata-rata 221.822 penonton per film. Bandingkan dengan rata-rata tahun 2011 (84 film, 178.916 penonton per film) dan tahun 2010 (82 film, 198.659 penonton per film). Signifikan perbedaannya.

Tahun 2013 praktis menjadi tanda tanya apakah kita bisa menjaga momentum atau tidak. Sejarah sudah memperingatkan kita akan sulitnya melakukan hal tersebut. Tahun 2008 dan 2009 merupakan annus mirabilis sinema Indonesia: beberapa film lewat angka satu juta penonton, boxoffice gembung dengan 32 dan 30 juta penonton. Tahun 2010, anjlok. Jumlah penonton berkurang setengah dan terus menurun sampai tahun kemarin. Demi menjaga momentum, ada beberapa tanda yang perlu kita sikapi dengan siaga. Tanda paling mencolok tentu saja ketimpangan persebaran penonton sepanjang 2012. Habibie & Ainun, 5 cm, dan The Raid total menyumbang 8.6 juta penonton. Hampir setengah, tepatnya 46%, dari jumlah penonton setahun. Apabila film tiga besar ini kita cabut dari perhitungan, maka 81 film sisanya menghasilkan rata-rata 124.093 penonton per film.

Persentase ini mengkhawatirkan. Persebaran penonton kita tak pernah tak pernah sebergantung ini pada puncak boxoffice. Tahun 2011, misalnya, jumlah penontonnya boleh jadi lebih sedikit, tapi persebarannya terhitung merata. Film-film di luar tiga besar masih mampu mengumpulkan jumlah penonton yang signifikan. Surat Kecil untuk Tuhan, Arwah Goyang Karawang, dan Hafalan Shalat Delisa total meraup 2.12 juta penonton, alias 14% dari total penonton setahun. 81 film sisanya rata-rata meraup 159.431 penonton per film. Begitu halnya tahun 2010. Sang Pencerah, Dalam Mihrab Cinta, dan18+: True Love Never Dies menyumbang 2.34 juta penonton, alias 14.64% total penonton setahun. 79 film sisanya rata-rata meraup 172.843 penonton per film.

Idealnya tentu saja kalau kita bisa mengulangi pencapaian tahun 2008 dan 2009. Keduanya dicap sebagai masa keemasan boxoffice film nasional bukan saja karena puncaknya begitu tinggi, tapi karena film-film di bawahnya turut mengkontribusikan rataan penonton yang tidak kecil. Tahun 2008 Laskar Pelangi, Ayat-ayat Cinta, danTali Pocong Perawanmengumpulkan 9.2 juta penonton alias 28.8% dari 32 juta penonton setahun; 86 film lainnya masing-masing menyumbang sekitar 269.746 penonton. Tahun 2009 Ketika Cinta Bertasbih 1 dan 2 serta Sang Pemimpi meraup 6.9 juta penonton alias 22.5% dari 30 juta penonton setahun; 77 film lainnya masing-masing menjaring sekitar 305.665 penonton.

Pilar-pilar Boxoffice

Analisa berdasarkan genre film menunjukkan kenapa tahun lalu bisa terjadi ketimpangan dalam persebaran penonton. Jenis-jenis film yang biasa menjadi pilar boxoffice film nasional kali ini anjlok pendapatannya. Film horor yang paling kentara. Dalam segi kuantitas, film horor menempati 22% dari seluruh film Indonesia yang beredar tahun lalu, terbesar kedua setelah film drama yang mencakup 54% perfilman nasional tahun 2012. Dalam segi daya serap penonton, 19 film horor tahun 2012 hanya mampu mengumpulkan 2.99 juta penonton, yang berarti setiap film horor rata-rata meraup 157.575 penonton.

Angka ini merupakan catatan terburuk film horor dalam lima tahun terakhir. Rata-rata penonton film horor Indonesia sebelumnya tak pernah berada di bawah dua ratus ribu. Tahun 2011 hanya punya 10 film horor. Total penontonnya 2.42 juta, yang berarti setiap film kira-kira meraup 241.590 penonton. Tahun 2010 ada 19 film horor dengan total 4.53 juta penonton; setiap film berarti mengumpulkan sekitar 238.424 penonton. Statistik ini tak ada apa-apanya dibanding statistik tahun-tahun keemasan film Indonesia. Tahun 2009 ada 22 film horor yang beredar dengan total 7.23 juta penonton. Masing-masing film kira-kira menyerap 329.077 sepanjang masa edarnya. Tahun 2008 lebih menggila lagi: ada 19 film horor dengan total 7.6 juta penonton. Rataan penontonnya 401.328 per film.

Sama seperti saudara dekatnya, horor-komedi juga mencatatkan rekor terburuknya. Terkumpul 287.736 penonton saja dari empat film horor-komedi yang beredar tahun 2012. Rata-rata penontonnya mencengangkan: 71.934 penonton per film. Dalam lima tahun terakhir, film horor-komedi menempati posisi yang unik dalam boxoffice film nasional: jarang diproduksi, tapi getol mendatangkan penonton. Tahun 2010 hanya ada tiga film horor-komedi. Total penontonnya 512.888, dengan rataan 170.963 penonton per film. Tahun 2009 setali tiga uang; ada empat film horor-komedi dengan total penonton 1.83 juta. Rataan penontonnya mengesankan: 458.281 per film. Anomali terjadi pada tahun 2011, ketika ada 12 film horor-komedi yang diproduksi. Meski begitu, pencapaiannya terhitung membahagiakan: total 2.76 juta penonton, rata-rata 230.202 per film.

Di sisi lain, grafik menurun film horor dan horor-komedi ini bisa dipahami. Dalam perspektif industri, kedua genre tersebut telah menjadi sebuah lingkaran yang menghidupi dirinya sendiri. Standar laris untuk kedua genre ini sudah berubah. Daya serap penonton memang rendah, tapi batas aman untuk balik modal pun tak kalah rendahnya. Belakangan ini, setidaknya dalam dua tahun terakhir, bujet untuk film horor kebanyakan berada di kisaran 600 juta sampai 1 miliar rupiah. Masa produksinya pun jarang sekali lewat satu minggu. Bandingkan dengan film-film Indonesia lainnya yang rata-rata menghabiskan 2-4 miliar rupiah dengan masa produksi lebih dari satu minggu. Apabila satu tiket bioskop bernilai Rp 10.000 bagi pembuat film, maka 50-100 ribu penonton sudah cukup bagi pembuat film horor untuk balik modal. Dari 23 film horor dan horor-komedi yang beredar tahun 2012, hanya Misteri Pasar Kaget, Pacarku Kuntilanak Kembar, dan Ada Hantu di Vietnam yang gagal melewati 50.000 penonton.

Terjelaskan kenapa film horor dan horor-komedi kita terlihat nyaris seragam. Premisnya tak jauh-jauh dari anak muda versus demit, dengan bonus sejumlah adegan panas. Dalam beberapa kasus, baik dalam film horor maupun horor-komedi, adegan panas malah melebihi porsi adegan seram. Premis ini adalah tipikal film horor Indonesia pasca Reformasi; cerita demit tak lagi dilatarkan di desa atau kawasan pinggiran tapi kota dan lokasi-lokasi populis. Yang terjadi belakangan ini adalah pengaitan cerita-cerita demit dengan fenomena budaya pop atau tragedi sosial, seperti yang terjadi dalam Rumah Kentang, Mama Minta Pulsa, dan Tragedi Penerbangan 574. Pola semacam ini yang terus direproduksi dengan biaya rendah, yang ternyata masih cukup laris untuk sekadar menutup ongkos produksi. Tak ada alasan bagi para produsen film horor dan horor-komedi untuk berambisi lebih.

Tawaran alternatif dalam perkara teror-meneror sebenarnya dapat ditemukan dalam film thriller, yang sayangnya belum begitu mapan di boxoffice. Tiga film thriller tahun 2012 total mengumpulkan 256.153 penonton, dengan rerata 85.334. Pencapaian ini sedikit lebih baik dari pencapaian tahun sebelumnya: tiga film thriller, total 237.104 penonton, rata-rata 79.035 penonton per film. Angka-angka ini memang masih kalah jauh dari rekor terburuk pendapatan film horor sekalipun, namun ada satu hal yang bisa kita apresiasi dari sini: production value. Terlepas dari kemasannya yang fotokopi dari film-film Barat sejenis dan perekembangan ceritanya yang kerap abai pada nalar, Modus Anomali, The Witness, dan Lo Gue End menawarkan kematangan produksi tersendiri yang jarang ditemukan dalam film horor dan horor-komedi kita belakangan ini. Tidak heran juga kalau pengerjaan ketiganya memakan bujet dan waktu yang lebih banyak daripada mayoritas film-film horor dan horor-komedi.

Nilai Produksi dan Ragam Cerita

Penting mempertimbangkan nilai produksi karena kaitannya yang erat dengan pengalaman menonton. Bayangkan Anda baru tiba di bioskop. Di hadapan Anda ada dua pilihan: satu film Hollywood yang identik dengan nilai produksi yang memanjakan mata, satu lagi film Indonesia yang kita tahu belum merata pencapaian teknisnya. Dengan harga tiket yang sama, mana yang akan Anda pilih? Kita belum bicara soal kualitas cerita dan hal-hal subtil lainnya, baru sebatas harapan sebelum menonton. Penonton tentunya mengharapkan imbalan yang setimpal dari uang yang ia sisihkan di loket karcis. Ketika dihadapkan dengan dua hal yang memberi tingkat jaminan yang berbeda, penonton kemungkinan besar akan memilih opsi yang lebih aman.

Dalam perfilman kita, nilai produksi inilah yang menjadi stigma masing-masing genre. Kejatuhan film horor, selain karena kejenuhan cara tuturnya, turut disebabkan oleh stigma kalau film horor Indonesia dibuat asal-asalan. Hal serupa dialami film komedi.  Ada sembilan film komedi tahun lalu. Lima di antaranya adalah film yang dibuat berdasarkan asumsi kebintangan pemerannya: Mr Bean Kesurupan Depe (Dewi Perssik), Sule Ay Need You, Udin Cari Alamat Palsu (artis-artis Youtube), Kungfu Pocong Perawan (Olga Syahputra dan Jessica Iskandar), serta Enak Sama Enak (grup lawak Teamlo). Strategi yang menjanjikan sebenarnya, mengingat film komedi kita pernah sukses dengan pemanfaatan figur populer macam Benyamin, Warkop DKI, dan duet Doyok-Kadir. Sayangnya, film-film komedi ini tak dibuat dengan konsep produksi yang matang. Yang ada malah terkesan asal jadi; semuanya hanya mengulang banyolan ala acara komedi televisi, lebih banyak mengandalkan kebintangan pemerannya (atau kontroversi dalam kasus Mr Bean Kesurupan Depe)untuk menarik perhatian khalayak ramai, yang itupun tidak sukses-sukses amat.

Konsekuensinya tercermin dalam pencapaian boxoffice yang menurun gila-gilaan. Sembilan film komedi tahun 2012 total mengumpulkan 779.085 penonton, dengan rerata 86.565 per film. Lagi-lagi rekor terkecil dalam lima tahun terakhir. Tahun 2011 ada 13 film komedi dengan total 2.01 juta penonton. Rerata penontonnya 155.338 per film. Tahun sebelumnya lagi ada 20 film komedi yang meraup 3.67 juta penonton, dengan rerata 183.096 per film. Paling sensasional adalah tahun 2009 dan 2008. Kedua tahun itu sama-sama punya 26 film komedi. Rerata penontonnya 300.701 dan 433.387 per film. Bisa dibayangkan kalau total penontonnya juga sama membludaknya: 7.8 dan 11.2 juta penonton.

Perkembangan paling asyik terjadi dalam film drama. Nilai produksi tak perlu diragukan lagi, melihat kebanyakan film drama Indonesia diproduksi dengan bujet dua miliar ke atas. Beberapa bahkan mencapai belasan miliar seperti Soegija dan Habibie & Ainun.Dalam segi isi, terjadi perkembangan ragam cerita yang mendekatkan layar bioskop kita dengan tanah tempat ia berpijak. Ada sejumlah cerita yang mengajak penonton untuk keluar dari Jakarta, yang selama ini dominan melatari film-film nasional. Beberapa yang menonjol: Atambua 39C (Timor Leste); Rumah di Seribu Ombak (Desa Kaliasem, Bali Utara); Di Timur Matahari (Papua); Keumala (Pulau Sabang, Aceh); Bidadari-bidadari Surga (Lembah Lahambay, Aceh); Cita-citaku Setinggi Tanah (Muntilan, Jawa Tengah);Tanah Surga...katanya (perbatasan Indonesia-Malaysia); dan Rayya (berbagai tempat dari Jawa sampai Bali). Untuk film-film yang berlatar di Jakarta pun, ada beberapa yang berambisi untuk menjelajahi pojok-pojok ibukota yang selama ini belum tersentuh, seperti Lovely Man, Jakarta Hati, dan Cinta di Saku Celana.

Secara tematik, film drama kita juga makin kaya. Tahun lalu kita mendapati isu-isu keseharian dan kebangsaan terpotret di layar. Ada Mata Tertutup yang dengan apik mengangkat cerita-cerita kecil seputar “Negeri Islam Indonesia”; ada Sanubari Jakarta yang menyorot kehidupan homoseksual di ibukota lewat delapan cerita pendek (kebanyakan sayangnya masih stereotip); ada Atambua 39C yang menyorot kondisi Timor Leste setelah 13 tahun merdeka dari NKRI; ada Rumah di Seribu Ombak dan Cinta Tapi Beda yang menyentuh keragaman agama dalam kehidupan bersama kita. Ada pula cerita-cerita dalam sejarah kita terangkat dalam Soegija serta Habibie & Ainun.

Perkembangan ragam dan tema cerita ini jelas menggembirakan. Pasca Reformasi, era yang konon membebaskan kita untuk berekspresi, sinema kita masih malu-malu untuk menjadi cerminan lingkungannya. Contoh paling sederhana: butuh sepuluh tahun sampai ada film kita yang bicara soal peristiwa sepenting dan sedekat Mei 98. Itupun terjadi dalam dua film yang terhitung pinggiran di peta industri kita: May dan 9808: Antologi 10 Tahun Reformasi Indonesia. Tumbuhnya sensitivitas sosial di film-film drama ini patut diapresiasi. Lebih menggembirakan lagi, beberapa dari film-film drama yang kental dengan muatan sosial ini bisa bersaing di boxoffice. Soegija, misalnya, bisa di bertengger di posisi enam boxoffice dengan 459.465 penonton, melewati Nenek Gayung (434.732), Rumah Kentang (413.102), dan Perahu Kertas 2(391.114). Ada pula Di Timur Matahari, tayang hanya empat minggu, mampu meraup 278.601 penonton (peringkat 11 di boxoffice), melampaui Bangkit dari Kubur (246.175), Pulau Hantu 3(241.511), dan Kakek Cangkul (239.716), yang kesemuanya beredar lebih dari sepuluh minggu di bioskop.

Secara umum, film drama menjadi penyumbang penonton terbesar tahun lalu. Apabila kita mengikutsertakan Habibie & Ainun dan 5 cm, maka total capaian 46 film drama tahun 2012 adalah 12.3 juta penonton. Rerata penontonnya 267.609 per film. Apabila kedua film itu kita kecualikan, total capaiannya jadi 5.52 juta penonton, dengan rerata 126.191 per film. Rerata ini adalah terbesar kedua setelah film horor untuk tahun 2012, tapi terhitung kecil dibandingkan dengan rataan film drama di tahun-tahun sebelumnya. 35 film drama tahun 2011 meraup 6.13 juta penonton (rerata 175.303 per film), sementara itu 30 film drama tahun 2010 menjaring 6.14 juta penonton (rerata 204.695 per film).

Satu-satunya genre yang mengalami kenaikan adalah film laga. Itupun statusnya anomali mengingat kenaikan ini disebabkan oleh pencapaian fenomenal The Raid semata, dan film laga sepanjang 2012 cuma satu. Kesuksesan The Raid ini sebenarnya bermakna ganda bagi genre film laga lokal. Bisa jadi peluang, karena The Raid menciptakan ketertarikan tersendiri di kalangan penonton terhadap film laga lokal. Bisa juga jadi bumerang, karena tak mudah menyamai nilai produksi The Raid, yang suka tak suka telah menjadi standar sendiri bagi film laga lokal. Kalaupun mampu menyamai atau bahkan melampaui, kita masih berhadapan dengan pasar untuk film laga lokal yang belum jelas.

Film-film laga sebelum The Raid terlalu naik-turun pencapaiannya di boxoffice. Tahun 2011 ada delapan film laga yang total meraup 246.163 penonton, dengan rerata 35.166 per film. Hanya tiga di antaranya yang mampu melewati lima puluh ribu penonton: Pirate Brothers (64.711), Tarung (52.000), dan Pengejar Angin (55.870). Tahun 2010, Darah Garuda unggul sendirian dengan 407 ribu penonton. Pesaing terdekatnya adalah Madame X dengan 102.913 penonton, sementara empat film laga lainnya berada di bawah seratus ribu. Enam film laga tahun itu total menjaring 802 ribu penonton, dengan rerata 133.741 per film.

 

Basis Penonton

Satu film dengan sejuta penonton adalah statistik, sejuta film dengan satu penonton adalah tragedi. Melihat kondisi perfilman Indonesia sekarang, dua-duanya adalah tragedi. Tanpa pencapaian fenomenal Habibie & Ainun, 5 cm, dan The Raid, jumlah penonton kita tahun 2012 sungguhlah buruk: 10 juta penonton, jauh di bawah total penonton tahun-tahun sebelumnya. Hampir semua genre film mengalami penurunan penonton, bahkan genre film yang sesungguhnya menyuguhkan kekayaan nilai produksi dan ragam cerita. Kita pun lagi-lagi berhadapan dengan pertanyaan klasik: ke mana perginya penonton film Indonesia?

Tentu kita bisa kembali menyalahkan infrastruktur ekshibisi kita yang tidak ramah masyarakat. Film masihlah menjadi konsumsi pengunjung mal, mengingat sedikit sekali bioskop di Indonesia yang merdeka dari pusat perbelanjaan. Lebih sedikit lagi bioskop-bioskop yang berada di luar kota besar serta bioskop-bioskop untuk kelas menengah-ke-bawah. Tapi marilah kita jangan terburu-buru jatuh pada kesimpulan yang sama dan mengevaluasi kembali pucuk-pucuk boxoffice tahun 2012.

Film-film Indonesia yang laris selama ini adalah film yang mampu mendatangkan penonton yang sebenarnya bukan pelanggan bioskop. Asumsi yang sebenarnya masih sahih, terutama kalau kita melihat lagi tiga film yang berjaya tahun 2012. Dua di antaranya adalah film adaptasi. Tahun 2012 sendiri adalah pertama kalinya film-film adaptasi mampu melewati perolehan penonton film-film nonadaptasi: 9,5 juta penonton dari 15 film adaptasi versus 9,1 juta penonton dari 69 film nonadaptasi. Hanya tahun 2008 dan 2009 yang pencapaiannya hampir menyamai jumlah tersebut. Tahun 2008 terkumpul 9,48 juta penonton dari tujuh film adaptasi, jumlah yang kecil dibandingkan 23 juta penonton 82 film nonadaptasi. Begitu pula tahun 2009: 7,9 juta penonton dari 8 film adaptasi, kalah jauh dari 22 juta penonton dari 76 film nonadaptasi. Dua tahun di antaranya tidak terlalu menggembirakan. Tahun 2010 terjaring 1,17 juta penonton dari enam film adaptasi, sementara tahun 2011 ada 2,94 juta penonton dari 10 film adaptasi.

Berjayanya film-film adaptasi di tahun 2012 ini bisa jadi adalah kunci untuk memahami iklim kepenontonan yang sedang kita hadapi. Ada kemungkinan besar semakin ke sini penonton kita kian enggan mengambil risiko dengan film-film lokal, dan merasa lebih aman untuk mendekati film-film yang ceritanya sudah mereka kenal sebelumnya. Kalau begitu mungkin kita perlu sedikit merevisi pemahaman kita. Film laris bukan saja film yang mampu mendatangkan penonton yang sebenarnya bukan pelanggan bioskop, tapi juga film yang sudah punya basis penonton yang besar bahkan sebelum filmnya beredar.

5 cm sudah punya basis penontonnya sendiri berkat populernya serta lakunya penjualan novel Donny Dhirgantoro sejak tahun 2005. Lebih pentingnya lagi, mayoritas pembaca buku 5 cm adalah anak muda, yang notabene juga kelompok umur yang rajin menyambangi bioskop. Basis penonton Habibie & Ainun malah lebih besar lagi, mengingat materi dasar film itu punya kehidupan di dua lini. Sebagai adaptasi memoar kehidupan pribadi beliau, bukunya terhitung laris dan sudah dicetak berulang kali. Menurut data terakhir, penjualan bukunya sudah mencapai 70 ribu eksemplar, tak terbayangkan jumlah penjualan versi bajakannya. Sebagai tokoh masyarakat, Habibie sudah dikenal jutaan umat berkat kiprahnya sebagai Menteri Riset dan Teknologi, Wakil Presiden, dan Presiden.

Pencapaian film adaptasi tahun 2012 di luar Habibie & Ainun dan 5 cm pun terhitung baik. Faktanya, The Raid adalah satu-satunya film nonadaptasi yang bercokol di lima besar tahun 2012. Di bawahnya ada adaptasi novel Ahmad Fuadi, Negeri 5 Menara, dengan 765.425 penonton setelah tujuh minggu tayang di bioskop, serta adaptasi novel Dewi Lestari, Perahu Kertas, dengan 588.615 penonton dari 15 minggu masa edar. Ada pula lima film adaptasi lainnya mampu melewati angka seratus ribu penonton: Perahu Kertas 2 (391.114), Cinta Tapi Beda (220.689), Test Pack (180.291), Brandal-brandal Ciliwung (154.236), dan Radio Galau FM (114.893). Dari semua judul-judul ini, hanya Brandal-brandal Ciliwung yang agak susah ditakar popularitasnya, mengingat bukunya sendiri adalah literatur klasik terbitan 1973. Lainnya adalah novel atau cerita blog tahun 2000an yang terhitung populer di kalangan anak muda.

Patut diingat pula film-film adaptasi sepanjang sejarahnya merupakan magnet penonton yang efektif. Dalam lima tahun terakhir, hanya ada sepuluh film Indonesia yang mampu melewati angka satu juta penonton dalam lima tahun terakhir. Tujuh di antaranya merupakan film adaptasi: Laskar Pelangi dan Ayat-ayat Cinta tahun 2008; Ketika Cinta Bertasbih 1 dan 2 serta Sang Pemimpi tahun 2009; Habibie & Ainun serta 5 cm tahun 2012 . Tahun 2010 sendiri ada Dalam Mihrab Cinta sebagai film terlaris kedua tahun itu, sementara tahun 2011 punya Surat Kecil untuk Tuhan, Hafalan Shalat Delisa, dan Poconggg Juga Pocong di lima besar.

Pertanyaannya kemudian: bagaimana kita bisa mengusahakan basis penonton bagi film-film nonadaptasi? Terus-menerus memproduksi film-film adaptasi untuk menjaring penonton jelas adalah solusi dangkal. Di sinilah kita perlu bicara soal promosi. Tanpa mengecilkan kualitas filmnya, kesuksesan The Raid sesungguhnya adalah kemenangan publisitas, baik di tingkat media maupun promosi mulut-ke-mulut. Pemantiknya adalah world premiere di Toronto International Film Festival bulan September 2011, yang kemudian berlanjut dengan dua pemutaran tertutup di Indonesia, tepatnya Indonesia International Fantastic Film Festival awal November dan Jogja-NETPAC Asian Film Festival bulan Desember. Antusiasme di tingkat lokal mulai tumbuh. Setelah itu, The Raid diputar di Sundance 2012 dan resmi menjadi wajah populer Indonesia di komunitas internasional. Eksposur The Raid kian meluas berkat kabar pembelian hak edar The Raid oleh Sony serta scoring baru yang digubah anggota grup musik populer Linkin Park. Konsekuensinya, khalayak sini sudah tahu betul akan keberadaan The Raid jauh sebelum filmnya beredar di bioskop-bioskop Indonesia.

Kemewahan serupa sayangnya tak dialami oleh film-film Indonesia lainnya. Faktanya, promosi masihlah menjadi anak bawang dalam perfilman Indonesia. Promosi seringkali mendapat porsi paling kecil dalam bujet film nasional. Wujudnya pun bisa ditebak: paling sederhana adalah iklan di halaman koran, paling mewah adalah billboard di pinggir-pinggir jalan. Iklan film Indonesia di televisi telah menjadi barang langka. Malah ada beberapa yang tak menyediakan bujet promosi sama sekali, murni mengandalkan promosi mulut-ke-mulut dan publikasi via media-media sosial.

Dampaknya terasa sekarang: informasi tentang film Indonesia berputar di kalangan itu-itu saja, boxoffice film nasional pun jomplang, hanya tertolong oleh segelintir film yang pendapatannya fenomenal tapi sejatinya anomali. Lazimnya, di banyak industri film lainnya, promosi merupakan tanggungjawab distributor, yang berperan menghubungkan film dengan pihak ekshibitor. Bentuk industri ini bisa terjadi dengan catatan ada keragaman ekshibitor. Di Indonesia, di mana ekshibisi dimonopoli oleh satu korporat saja, pembuat film terpaksa merangkap sebagai distributor dan berurusan langsung dengan pihak ekshibitor. Beban dan tugas promosi pun dibebankan pada pembuat film.Untuk urusan publikasi ini, sepertinya memang tak ada lagi yang bisa dilakukan pembuat film. Pilihannya hanya dua: investasi lebih besar untuk promosi film, atau semakin menggencarkan metode publikasi yang sudah-sudah sembari mencari kemungkinan-kemungkinan baru untuk memperkenalkan filmnya.

Sangat disayangkan bentuk industri perfilman kita tidak berkembang secepat pergerakan sineas-sineas kita. Belum terlihat ada tanda-tanda perbaikan di lanskap perbioskopan Indonesia, mengingat sulitnya masuk pemain baru di bisnis ini. Pertimbangkan juga kenaikan harga tiket bioskop setahun belakangan ini, yang tentunya berpengaruh pada arus penonton ke bioskop. Di kebijakan pemerintah juga belum ditemukan adanya terobosan yang berarti. Kuota 60% film nasional dalam Undang-undang Perfilman tentunya akan sangat membantu, apabila ditegakkan. Sayangnya, sampai tulisan ini dibuat, belum ada intervensi konkret dari pemerintah.

Film Indonesia saat ini terdiri dari dua garis yang tak seimbang: satu garis panjang mewakili film-film yang sudah dihasilkan sineas Indonesia, satu lagi garis pendek mewakili film-film yang diketahui dan ditonton masyarakat. Tantangannya adalah menyeimbangkan keduanya. Hanya dengan cara itulah momentum perfilman kita bisa terjaga.