Salah satu perbedaan besar dalam produksi film tahun 1970an-1990an (yang masih memakai sistem dubbing) dan sesudahnya adalah perekaman suara secara langsung saat syuting. Karena itu, fungsi perekam suara menjadi sangat vital. Namun demikian, honor untuk sektor suara ini (perekam dan penata suara) tidak berbanding lurus dengan besaran honor yang diterima oleh pemeran, sutradara umpamanya. Bahkan dengan karyawan bidang lain yang umumnya dihargai secara per orang, bukan per paket atau kelompok.
Menurut dua sumber FI yang menjabat pimpinan produksi (line producer), kisaran honor mereka per paket antara Rp 55 juta sampai Rp 90 juta tergantung dari konsep suara yang digunakan. Padahal baik perekam maupun penata suara tidak mungkin bekerja sendiri. Mereka umumnya didampingi oleh dua sampai lima asisten tergantung dari konsep dan besaran produksi. Dalam film berbiaya Rp 10 milyar seperti Sang Kyai, fungsi perekam suara plus asisten-asistennya, plus lagi membawa alat-alat rekam sendiri dihargai sekitar Rp 70 juta. Ini untuk kerja sekitar selama dua sampai empat minggu. Honor hampir serupa juga diterima oleh penata suara.
Setelah mewawancarai Satrio Budiono, redaksi FI kali ini mewawancarai Trisno, yang banyak terlibat sebagai perekam suara dalam produksi film. Profesinya menentukan bagaimana suara yang penonton nikmati di layar, bisa direkam sebaik mungkin dan sesuai dengan latar serta tuntutan sebuah cerita. Meskipun ia secara tidak sengaja menekuni profesi ini dan tanpa pendidikan formal, ia mengaku pekerjaan ini membuatnya ketagihan. Selama kurang lebih satu jam, Trisno berbagi cerita tentang pengalamannya bekerja di lapangan dan berurusan dengan suara.
filmindonesia.or.id (FI): Dalam produksi sebuah film, departemen suara terdiri dari divisi apa saja? Lalu, bagaimana kerja masing-masing divisi?
Trisno (T): Kalau di film cuma dibagi dua, sound lapangan dan sound studio. Kalau untuk di Indonesia, masing-masing punya desain sendiri. Di lapangan seperti apa, di studio seperti apa. Kalau seperti saya, sebelum produksi film pasti ngobrol dulu. Nanti mau mengerjakan post (pasca produksi)di mana? Apakah ke Mas Yoyok (Satrio Budiono), Mas Adit (Adityawan Susanto), apa Mas Kiki (Khikmawan Santosa). Paling tidak, kami ngobrol dulu dengan mereka. Nanti desainnya mau dibuat apa, mau seperti apa jadinya. Setiap produser bisa berbeda, ada yang mau Stereo saja, Stereo Surround, Dolby, atau Dolby Surround.
Kalau di lapangan ya standar saja. Ketika merekam suara, target yang paling penting, suara yang terekam bisa bagus. Kalau di lapangan kan sekadar itu. Hanya saja, kendala di lapangan berbeda-beda. Ada lokasi yang ramai sekali, ada yang secara audio enak, ada juga yang tidak ramai tapi ada gangguan alam, misalnya suara jangkrik, kodok. Macam-macam, lah. Ya, pintar-pintar di lapangan saja supaya aman untuk merekam suara.
FI: Bagaimana proses kerja tim perekam di lapangan? Baik mulai persiapan maupun sampai syuting.
T: Kami mengikuti proses produksi dari awal. Dari persiapan, script content, breakdown shot, cek lokasi, sampai kadang-kadang juga blocking shot. Semua kami ikuti. Ada kalanya ketika mengecek lokasiternyata terlalu ramai, kami bisa keberatan dan menolak juga, atau menyarankan ganti set lain. Kecuali jika memang tempatnya tidak bisa tergantikan. Misalnya, karena film sejarah maka unsur filmnya tidak bisa lepas dari sejarah itu, sehingga lokasinya harus di tempat itu. Kalau terlalu ramai, konsekuensinya nanti harus di-dubbed. Bagaimanapun juga, itu kepentingannya kan untuk set, tak bisa tergantikan.
Kami bekerja juga mengikuti cerita, setting, dan lainnya, kan. Kalau film yang latar belakang masa kini atau modern, biasanya ketemu jalanan, mal, kafe, atau tempat ramai untuk jadi set. Film sejarah pasti disituasikan karena untuk dapat latar belakang asli kan agak susah. Semua disesuaikan dengan cerita, kami tinggal mengikuti. Namun ya itu, tetap ada pertimbangan set, pertimbangan tempatnya ramai atau tidak.
Selain itu, yang penting juga adalah kerja sama tim di lapangan. Kalau kerja sama timnya kuat, bisa lebih efektif dan cepat. Misalnya, untuk merekam dialog, biasanya butuh empat sampai lima orang. Kalau timnya sudah kuat, begitu pemain selesai make-up dan sudah siap, satu orang bisa langsung pasang wireless (mikrofon nirkabel). Atau, karena sudah melihat latihan blocking, operator boom mic (mikrofon yang dipasang di ujung ‘galah’) sudah bisa langsung menempatkan diri di posisinya. Selanjutnya tinggal mengikuti arahan sutaradara.
FI: Peralatan apa saja yang biasanya dibawa setiap kali bekerja di lapangan?
T: Ada boom, mixer, wireless, recorder, perkabelan. Untuk alat, kita juga sesuaikan dengan cerita. Misalnya untuk film drama, berbeda dengan seperti kemarin saat saya mengerjakan Gending Sriwijaya. Waktu Gending Sriwijaya kemarin, saya berhadapan dengan set dan kostum yang menyesuaikan latar belakang cerita, yakni pada abad 16-an. Jadi, para pemainnya banyak yang tidak pakai baju. Itu kemudian menjadi masalah pada pemasangan wireless, karena ngumpetinnya lumayan spesial dan ekstra ribet. Bagaimana caranya memakaikan mikrofon, tanpa terlihat kamera. Biasanya, kalau pemain pakai baju, kabelnya kan tertutup pakaian. Maka dari itu, kemarin ekstra hati-hati. Selalu cek ke monitor, kabelnya bocor masuk gambar atau tidak. Kalau drama sekarang, dengan kostum yang juga masa sekarang, lebih gampang untuk menempatkan wireless. Tinggal boom mic-nya saja dimaksimalkan. Kalau film klasik seperti Gending Sriwijaya kemarin, karena wireless-nya tidak maksimal, jadi saya maksimalkan dua boom mic ini untuk back up, seandainya tidak dapat suara yang baik. Ya kesulitannya lebih ke arah situ, sih. Gangguan bisa berupa suara di jalan: suara motor, mobil. Kalau itu terekam, kan jadi tidak sesuai. Kalau itu bisa dihindari, kerja lebih enak. Bisa saja set-nya dipindah ke area yang tertutup dari kebisingan luar.
FI: Bagaimana pembagian fungsi antara pemakaian wireless mic dan boom mic?
T: Dua-duanya sama-sama untuk merekam dialog. Namun, untuk dialog, yang diutamakan itu tetap boom mic karena hasil suaranya lebih enak dan lebih nyata. Kalau wireless, masalahnya lebih banyak. Kadang sinyal bisa tidak ada, lalu kalau tergesek baju bisa ada bunyi kresek-kresek. Atau pas dipasang aman, tapi pas merekam, suaranya jadi mendem karena kena keringat. Sedangkan kalau kendala boom mic, kami kan mengikuti tipe lensa kamera. Kalau wide, suara akan jadi jauh. Kecuali kalau medium, maka suara juga bisa semakin mendekat. Maka dari itu, kalau lagi ambil gambar master shot atau wide shot, suaranya ya jadi jauh juga. Namun, untuk hasil, tetap jauh lebih bagus daripada wireless. Apalagi kalau areanya clear, boom lebih bagus. Wireless difungsikan untuk back up. Kalau boom tidak berhasil merekam suara yang diinginkan, kami berharap hasil dari wireless bisa aman, clear. Di post kan tinggal pilih, yang mana yang lebih aman. Nanti ambience (suara sekitar) tinggal disamakan, adegan demi adegan, agar ambience-nya merata, sama. Itu sudah tugas yang di studio, kami tinggal menyiapkan stock-nya.
FI: Anda menyebutkan bahwa untuk merekam suara itu harus aman. Apa yang menjadi ukuran bahwa kondisinya sudah aman untuk merekam?
T: Untuk aman, yang pertama itu dilihat dari lokasi. Kalau lokasi tidak terlalu banyak gangguan, kami aman. Kedua, dari tim produksi sendiri harus saling membantu. Kalau lagi take, tidak ada yang mengadakan pembicaraan, misalnya. Kalau di sini lagi take, lalu ada yang ngobrol, kan jadi terganggu. Ketiga, lihat jenis filmnya juga, film laga atau drama. Yang berat untuk audio itu justru drama, khususnya untuk merekam dialog. Dalam film drama, ketika pemain berbicara dan menunjukkan emosi, belum tentu dengan suara keras, kan? Bisa juga suaranya rendah, tapi sebenarnya marah. Sedangkan film laga, tokohnya cenderung bicara dalam suara keras.
Kalau drama cinta atau keluarga, yang memang punya cerita bagus dan masalah yang dalam, banyak juga suara-suara rendah yang harus tertangkap mic. Kalau suara makin rendah kan volume yang ditangkap mic juga lebih rendah. Untuk yang seperti ini, wireless juga harus main. Namun, harus dapat hasil yang clear dan tidak terganggu sama hal-hal yang sempat saya bilang tadi.
Intinya, aman itu kalau suaranya sesuai dengan tujuan dan tuntutan cerita, dan tidak ada suara yang tidak diinginkan sampai masuk terekam. Dari take by take, adegan per adegan. Meskipun ada kemungkinan bisa dihilangkan di post, tapi kalau sudah menempel, akan susah. Audio-nya bisa menipis karena harus di-compress terus.
Pilihan
FI: Apa pertimbangan Anda dalam mengambil tawaran pekerjaan?
T: Salah satunya cerita, ya. Kalau ditawari cerita yang sama, yang sudah pernah saya kerjakan, saya akan pilih yang lain kalau ada pilihan lain. Takut bosan kalau melakukan hal yang sama. Kecuali, tidak ada pilihan lain dan harga sesuai, ya diambil saja. Atau misalnya begini, sudah pernah mengerjakan film yang sepenuhnya drama, lalu proyek berikutnya juga drama, tapi ada musikalnya. Berarti kan saya harus merekam permainan musik langsung. Lalu dapat lagi film sejarah. Ada tantangan di set dan bagaimana menyesuaikan suara untuk cerita yang terjadi pada tahun lampau, tapi dikerjakan sekarang. Kalau dapat film sejarah lagi, mungkin masih menantang karena era tahunnya bisa beda lagi. Kalau untuk drama, mencari cerita yang melibatkan emosi berbeda. Ya, maunya sih dari film ke film yang dikerjakan bisa beda, jadi bisa dapat energi baru. Namun, kalau pertimbangan berdasarkan rumah produksi mana, tidak juga, ya. Cuma di film itu ada siapa, kadang-kadang mempengaruhi juga.
FI: Biasanya, produser merekrut penata suaraatau perekam suaralebih dahulu?
T: Bisa bolak-balik. Misalnya, produser sudah minta Mas Yoyok untuk menangani post. Biasanya nanti produser baru tanya, siapa soundman di lapangan. Mas Yoyok nanti bisa kasih referensi yang keputusannya tetap diserahkan ke produser. Bisa juga tergantung jenis film. Kalau yang biasa film drama tuh si A, kalau film laga tuh si B, misalnya. Bisa juga tawarannya datang ke saya dulu, nanti saya baru minta ke produser, post-nya di sini ya. Cuma, di sini kan studio post juga masih sedikit, ya.
FI: Berdasarkan data kami, selain sebagai perekam suara, Anda juga pernah terlibat sebagai penata suara. Apa pertimbangan Anda dalam menentukan ingin terlibat sebagai perekam atau penata suara?
T: Biasanya, pertimbangannya karena tertarik sama filmnya, sama ceritanya. Kalau menarik, kadang mau juga ikut menentukan di post-nya seperti apa. Lebih ke ketertarikan saja. Kalau filmnya cenderung biasa dan sudah pernah dikerjakan, ya sudah, cari uang saja. Namun untuk hasil, harus tetap kualitas nomer satu.
Untuk pilihan dua pekerjaan itu juga lebih ke soal suka atau tidak. Ada yang lebih merasa nyaman di lapangan dan tidak tertarik untuk masuk studio. Ada juga yang menganggap dua-duanya menyenangkan, jadi bisa pilih salah satu. Cuma setahu saya, kalau dari lapangan terus buka studio sendiri itu agak jarang, ya. Kalau saya, sampai sekarang masih di lapangan saja.
FI: Kenapa?
T: Kalau di lapangan tuh lebih banyak gerak saja, sih. Tidak berlama-lama di depan komputer dengan banyak monitor untuk telinga yang cuma dua (tertawa). Kalau di lapangan juga seru lah, bisa ke mana-mana. Kerja, tapi seperti jalan-jalan, tapi dibayar. Seneng, kan? (tertawa)
FI: Ketika seorang produser merekrut Anda, biaya yang ia keluarkan hanya untuk soundman atau ada hitungan secara paket?
T: Umumnya kalau sound lapangan,sudah paket dengan alat dan asisten. Namun, ada pula yang sistemnya merekrut soundman saja, alat terpisah. Untuk kebanyakan kasus ya soundman, alat, asisten. Cuma kalau saya, saya punya alat sendiri, jadi saya pakai itu. Namun, kalau harga tidak sesuai, saya tidak mau memaksakan juga. Saya kan menghitung dari peralatan, asisten. Tidak sedikit, kan? Lain persoalan kalau teman yang datang, tidak ada anggaran, dan minta tolong, itu lain lagi. Kalau sudah komersial, ada standar biayanya. Lalu, kalau secara jadwal mepet, walaupun harga sesuai, juga belum tentu saya ambil. Daripada badan tersiksa, lebih baik istirahat. Untuk alat, kami menyesuaikan juga. Kalau misalnya punya uang, maunya dapat peralatan yang semakin naik kualitasnya, untuk hasil akhir yang semakin naik juga. Kalau tidak ada (uang), ya tahan dulu.
FI: Jika Anda memakai alat sendiri untuk produksi, berarti pembelian alat-alat baru memakai sebagian pendapatan Anda yang dihitung per paket tadi?
T: Mau tidak mau ya dari kami sendiri. Kami sisihkan dari hasil kerja, kami cicil, untuk membeli alat yang kami butuhkan. Jadi, mau tidak mau harus menabung. Kalau sudah cukup, baru kami belikan. Cuma, upgrade alat itu sudah menjadi kebutuhan buat kami, jadi mau tidak mau harus beli sendiri. Lain persoalan kalau di sini ada tempat penyewaan alat-alat sound. Kami perlu apa saja, bisa ada di situ, dan kami bisa bilang ke produser, “Tolong sewakan alat yang itu, dong.” Nah, di sini kan tidak ada, jadi mau tidak mau harus cari dan beli sendiri.
Kalau bicara standar peralatan, masing-masing soundman punya standar yang beda-beda juga. Cuma kalau buat saya, kalau ada alat yang lebih baik lalu ada uang, ya mending dibeli. Apalagi kalau merasa hasilnya memang lebih bagus dan bikin kami kerja lebih nyaman. Biasanya itu kami kejar, sampai uangnya cukup, lalu dibeli. Kalau tidak, sampai dapat kerjaan beberapa film lagi baru dibeli.
FI: Biasanya satu tim sound di lapangan terdiri dari berapa orang?
T: Masing-masing soundman bisa beda-beda. Komposisi tim ada yang berdua, bertiga, atau berempat. Kalau saya biasanya lebih banyak. Bisa berlima, bisa berenam. Kalau lebih banyak seperti itu, pembagian kerjanya juga lebih enak. Ada yang mengurus perkabelan, mencatat sound report, dan ada dua yang mengoperasikan boom mic. Kalau pasang wireless biasanya ada sendiri. Saya tinggal konsentrasi di mixer dan recorder. Kalau jumlah orangnya terbatas, kan mau tidak mau, saya juga harus mengurus kabel atau membenarkan wireless, misalnya. Kalau kerjanya begitu, menurut saya jadi kurang efektif. Lebih baik saya mengeluarkan uang lagi untuk membayar asisten, tapi saya bisa konsentrasi di tempat saya tadi. Jadi hasilnya bisa lebih maksimal.
FI: Apakah Anda selalu memakai orang yang sama untuk menjadi asisten dalam satu tim? Lalu, apakah ada upaya regenerasi dalam tim Anda?
T: Di sini (tempat FI melakukan wawancara) ini base camp. Jadi, kalau mau syuting, memang kumpul semua di sini. Ya, saat ini, baik untuk kamera maupun audio, lahan pekerjaannya sudah banyak, ya. Ada sinetron, film, iklan, jadi siapapun yang mau kerja keras, ya kerjaan ada saja. Biasanya memang selalu ada regenerasi. Misalnya, asisten saya yang sudah ikut bareng saya cukup lama, yang saya rasa sudah cukup mahir, pasti saya lepas. Saya carikan link, biasanya ada satu, dua, setelah itu biar dia belajar cari sendiri, latih mental, belajar gagal sendiri. Kalau memang mereka ketemu jalannya, ketemu teman-temannya, ya saya lepas. Cuma, mereka masih satu komunitas di sini. Nanti saya bisa cari orang lagi. Pokoknya yang mau kerja, yang mau belajar, bisa ikut di sini. Nanti mulai lagi dari runner, menggulung kabel, mencatat sound report, bertahap. Kalau sudah mulai mengerti sistem kerja kita, kalau dia minat dan nyambung sama kita, tawaran pekerjaan-pekerjaan kecil selanjutnya, dia bisa mulai jadi boom operator. Regenerasinya begitu saja, sih. Menurut saya, soal honor mengikuti saja.
Perkembangan teknologi dan awal karir
FI: Belakangan ini, teknologi alat untuk pembuatan film tergolong berkembang pesat. Bagaimana dengan departemen suara? Apakah ada dampak dari perkembangan teknologi terhadap sistem kerja Anda?
T: Tidak ada perubahan yang signifikan. Hanya terkadang ada keterkejutan saja. Perubahan kamera sendiri kan cepat sekali. Hampir setahun, ada banyak perubahan untuk kamera. Saat syuting, biasanya kami merekam audio secara terpisah. Namun, ketika pakai video, kami harus menarik kabel audio dan menyambungkannya ke kamera. Waktu itu pertimbangannya agar suara bisa sync langsung dengan gambar, sehingga lebih mudah ketika di-edit. Itu menambah pekerjaan kami, tapi memang ada benarnya juga. Minimal (suara yang ter-sync dengan gambar) itu buat panduan. Memang lebih terasa kalau syuting pakai film, ya. Namun sekarang kan orang menyesuaikan anggaran juga. Ada kamera yang mampu merekam dengan hasil yang mendekati film, orang pasti larinya ke situ.
Kalau buat kami, peralatan cenderung sama. Sejak masuk ke era digital, makin ke sini perubahannya juga makin cepat, tapi tinggal menyesuaikan dan mengikuti perkembangan. Kalau untuk suara, prinsip kerjanya tetap sama: yang penting suara sebagus mungin direkam di lapangan. Kalau di lapangan sudah bagus, di post tidak perlu banyak perubahan. Real di lapangan, tidak perlu ada dubbing. Perubahan perlu dilakukan hanya kalau setelah di-edit lalu ada dialog yang harus diganti, ya diulang. Yang terasa berubah dari analog ke digital, paling cuma efek, ya. Kalau suara ya begitu-begitu saja, hanya standar kualitasnya yang kami kejar untuk bisa mendapat hasil akhir yang diinginkan.
FI: Apa alat yang Anda pakai saat ini? Apakah ada alat yang Anda atur ulang dan sesuaikan dengan kebutuhan sendiri?
T: Standar pabriknya ada, setting dari sananya juga ada. Namun, kalau mau diatur secara khusus juga bisa. Kalau saya kan pakai Sound Devices. Misalnya, kalau pakai perekam seri 744T, kami harus tetap pakai mixer. Namun kalau pakai perekam seri 788T untuk kebutuhan audio film di sini, tidak pakai mixer juga bisa. Input sudah delapan track terpisah, penyesuaian bisa dari player-nya langsung. Masing-masing soundman biasanya punya “kuncian” pengaturan masing-masing. Saya sendiri kalau kemarin-kemarin pakai mixer seri 522, player seri 744 T. Itu Sound Devicessemua. Baru saja dapat yang seri 788T, tapi belum tahu buat film yang mana, masih mau diutak-atik dulu.
FI: Lalu, Anda sendiri biasanya mendapat informasi atau meningkatkan pengetahuan Anda soal sound dari mana?
T: Hmm, cari sendiri, sih. Kebetulan asosiasi untuk divisi suara di sini kan belum ada. Mungkin kalau sudah ada asosiasinya bisa lebih enak buat berbagi informasi dan perkembangan teknologi. Maka dari itu, karena di sini tidak ada, harus rajin cari-cari sendiri. Bisa dari internet, menonton behind the scene, misalnya dari film-film luar. Melihat mereka pakai alat apa, apa saja yang dipakai.
Sebenarnya kalau secara teknologi, di sini lumayan ngejar (standar dunia) juga, sih. Cuma memang agak berat biaya untuk peralatan dasarnya. Kalau untuk hasil akhir di post, terkejar juga. Sedangkan untuk peralatan dasar di lapangan, ada beberapa alat yang tidak sama. Sisanya sudah mengikuti standar dunia seperti pakai Sound Devices, Sennheiser, atau misalnya lisensi Dolby, itu kan sama saja. Wireless yang mungkin agak berbeda, ya.
FI: Apakah Anda dari awal memang sudah berminat untuk bekerja di bidang suara?
T: Kalau saya bisa menggambarkan, ya kadang-kadang hidup itu sulit ditebak. Awalnya saya lebih ingin di kesenian, sepertinya menyenangkan kerja di situ. Ternyata malah nyasar di sound. Ketemu dengan Bang Handy Ilfat, diajak ikut. Saya pikir ya, boleh juga meski agak ragu apakah saya bisa bekerja di bidang ini. Takutnya nanti salah melulu (tertawa). Dari yang saya takutkan, ternyata malah menyenangkan. Ngejar-ngejar pemain supaya dialognya bisa terekam, akhirnya keterusan. Kan kalau tidak suka tapi dipaksakan, ya mentok juga. Jadi, saya sempat jadi asisten Handy Ilfat selama sekitar dua tahun.
Hidup saya mengalir saja. Saya tidak sekolah film atau sound, SMA juga tidak tamat. Bisa dibilang, saya anak kampung, lah. Latar belakang kesukaan saya justru musik. Dari kecil memang suka macam-macam kesenian daerah, kesenian lokal. Waktu kecil sempat jadi penari kuda calung, keliling Jawa Tengah, sampai sekarang masih suka main kuda lumping kalau lagi pulang. Cuma waktu itu mau main musik modern, mau belajar gitar, makanya pergi ke Jakarta. Harusnya kursus atau sekolah, tapi tidak ada uang. Panjang prosesnya.
Kebetulan saya dulu ketemu teman-teman yang memang lingkungannya film. Sempat jadi teman nongkrong sama Aria (Kusuma)Dewa. Dia mau bikin film. Kebetulan saya sudah di bidang audio, lalu diajak. Dari situ, saya mengerjakan Novel Tanpa Huruf R. Makin ke sini, secara kebetulan, nyambung ke Mas Garin (Nugroho), Rudi (Soedjarwo), Hanung (Bramantyo). Jadi ya awalnya memang dari teman ke teman. Ada juga soundman yang memulainya tidak sama, tapi kalau saya memulainya seperti itu.
Selain itu, tiap dari film satu ke film yang lain, saya jadi belajar lagi dan belajar lagi. Tidak ada habisnya. Setelah mengerjakan film ini, masuk ke film lain, di film selanjutnya ya saya harus belajar. Dengan alat, lingkungan, microphone, termasuk juga dengan tim. Tim ini kan bisa bongkar pasang juga, tidak dengan asisten yang sama. Belum kalau kerjanya bersama tim lain, harus adaptasi juga. Proses belajarnya terus menerus. Termasuk juga teknologinya. Kalau bisa, ya terus dapat alat yang lebih baik lagi. Teknologi kan tidak ada habisnya, beda-beda, jadi bikin kita belajar terus karena harus menyesuaikan lagi.
Saya belajar dari pengalaman dan kerja, sih. Untuk teori atau pendidikan, saya tidak ada bekal itu. Kalau teori justru saya dapat dari pekerjaan yang saya jalani. Misalnya setelah mengerjakan apa, baru ketemu hitung-hitungannya bagaimana. Jadi dari praktik, baru ketemu rumus. Bukan mempelajari teori, baru praktik.
FI: Apa proyek film yang ingin Anda kerjakan tapi belum kesampaian?
T: Saya ingin mengerjakan film, tapi isi materinya tuh sound. Maksudnya dari segi cerita, unsur filmnya audio semua. Bagaimana audio-audio di lapangan ini bisa dijadikan musik, misalnya. Ini ide gila saya aja, sih. Namun, mau juga bikin film misalnya dari suara mesin fotokopi. Itu kan ada bunyi, ada irama, walaupun monoton. Nanti potongan adegan selanjutnya lain lagi, tapi unsurnya seperti itu. Itu setting-nya, tapi ada cerita dari situ. Ambience yang beda dari tiap adegan, tapi ada hubungannya. Misalkan naik kereta, keretanya sendiri sudah musik. Dari klakson, suara tiap dia menginjak sambungan, suara pedagang, itu ramai, kan? Buat saya itu musik, dan itu semua bisa dimainkan. Cuma ya nggak tahu, ya. Kayaknya itu harus bikin sendiri (tertawa).