Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) melaksanakan Rapat Kerja Nasional (rakernas) pada 21-22 Januari 2014 lalu di Hotel Ibis Tamarin, Jakarta Pusat. Rapat tersebut diadakan GPBSI untuk menyikapi lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri (Permen) sebagai petunjuk pelaksanaan Undang-Undang (UU) No. 33 tahun 2009 tentang Perfilman, serta membahas kebangkitan bioskop di era digital ini. Rapat dihadiri beberapa Dewan Pengurus Pusat (DPP), Dewan Pengurus Daerah (DPD), dan Dewan Pertimbangan Organisasi (DPO). Seusai rapat, pihak GPBSI mengadakan konferensi pers yang diwakili Ketua Umum Djonny Syafruddin dan Wakil Ketua Umum Edison Nainggolan, dengan moderator Yan Wijaya untuk mensosialisasikan hasil rapat.
Pertama, GPBSI mendukung lahirnya PP dan Permen berdasarkan UU Film, agar ada koridor yang lebih jelas bagi para pelaku perfilman, termasuk pihak bioskop. Mengenai hal ini, GPBSI turut mengundang Direktur Pengembangan Industri Perfilman Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) Armein Firmansyah hadir pada rapat agar aspirasi mengenai perbioskopan dapat tertampung pada PP dan Permen tersebut.
Beberapa usulan atau aspirasi GPBSI antara lain soal kejelasan teknis pelaksanaan hal-hal yang diatur dalam UU. “Di UU memang ada kuota layar 40%-60% (untuk film asing dan film nasional –red). Namun, di sana dijelaskan pula bahwa kuota tersebut untuk film bermutu. Nah, film bermutu itu seperti apa?” ujar Djonny. Begitu pula dengan ketentuan tertulis, siapa yang berwenang menurunkan film jika jumlah penonton kurang dari kuota yang ditentukan. Menurutnya, hal-hal tersebut perlu diperjelas di peraturan nanti.
Kedua, terkait rencana dicabutnya usaha bioskop dari Daftar Negatif Investasi (DNI), GPBSI menolak keras pencabutan tersebut. Menurut Djonny, dicabutnya bioskop dari DNI bisa mengganggu kedaulatan kebudayaan karena penetrasi budaya asing yang kuat. “Masuknya pihak asing dapat mengganggu tatanan perfilman. Nantinya bisa mengakibatkan kebudayaan kita makin ketinggalan jauh. Lagipula, selama dua tahun ini, GPBSI masih terus berupaya membangkitkan bioskop-bioskop di daerah, yang non-group (di luar grup Cinema 21 dan Blitz Megaplex –red). Masih sanggup.”
Ketiga, GPBSI merespon perkembangan perangkat digital untuk bioskop, yang dianggap lebih efektif karena distribusi film bisa lebih merata dan diputar serentak. “Yang membedakan hanya sarana prasarana dan harga tiket, sehingga masyarakat menengah juga bisa menikmati.” jelas Djonny. Dengan perangkat digital, Djonny menyebutkan adanya peningkatan pendapatan atau omzet sebesar 200-300% untuk usaha bioskop.
Pada kesempatan tersebut, Djonny menyebutkan bahwa modal untuk membangun satu layar bioskop (layar, sistem suara, kursi, dan proyektor digital) membutuhkan sekitar 1,5-2 miliyar. Sedangkan jumlah layar yang ideal pada satu bioskop menurutnya terdiri dari 3-4 layar. Salah satu yang menyebabkan sebuah bioskop bermodal besar adalah tingginya harga proyektor digital. Sejauh ini, GPBSI sempat bekerjasama dengan Cinema 21 untuk penyediaan proyektor digital. Namun ke depannya, GPBSI mengusulkan kerjasama antara Kemenparekraf dengan Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop dan UKM) agar mendukung pengadaan proyektor digital untuk bioskop di daerah dari dana-dana koperasi. Namun, teknis pelaksanaannya masih akan dibicarakan lebih lanjut.
Pada konferensi pers tersebut, Djonny juga sempat menyebutkan kemungkinan Lembaga Sensor Film (LSF) untuk bisa membentuk perwakilan LSF di daerah. Hal ini dianggap bisa memudahkan pengawasan sekaligus mempercepat pengurusan sensor, terutama untuk film-film televisi atau produk daerah lainnya. Namun, untuk film layar lebar yang sudah disensor di pusat, tetap tidak dapat diganggu gugat.
Bangkitkan bioskop yang tutup
Berdasarkan hal-hal tersebut, Djonny menyebutkan bahwa saat ini, usaha bioskop sedang menggairahkan. “Maka dari itu, GPBSI akan membangkitkan kembali bioskop yang tutup. Baik yang merupakan anggota GPBSI maupun bukan. GPBSI akan memperjuangkan hal-hal strategis terkait perbioskopan.” jelasnya. Menurutnya, izin mengenai perbioskopan sebaiknya jangan dipersulit demi memanfaatkan momentum yang tinggi ini.
GPBSI juga mengungkapkan persoalan yang biasa ditemukan di lapangan, saat mereka menjalankan bisnis mereka selama ini. Salah satunya terkait pengaturan kuota layar yang tercantum pada UU. “Seharusnya bioskop punya hak memilih film yang sesuai pelanggannya, yang sesuai segmen penonton di wilayah masing-masing.” ujar Edison. Ia mengemukakan bahwa terkadang pihak bioskop merugi jumlah penonton suatu film sedikit tapi tetap harus ditayangkan untuk memenuhi kuota. Atau jika film yang penontonnya masih banyak jadi harus diturunkan karena pihak bioskop tidak bisa menolak sebuah film selama film tersebut sudah disensor. Padahal, menurutnya, belum tentu semua film layak tayang. Maka dari itu, khususnya untuk film nasional, menurutnya harus ada koordinasi mengenai jumlah ideal film nasional yang diproduksi.
Kemudian, terkait penentuan masa tayang sebuah film, Edison menjawab bahwa lama tayang sebuah film ditentukan oleh film itu sendiri dan penontonnya. Jimmy Herjanto, Bendahara Umum GPBSI yang juga Direktur Cinema XXI menambahkan, bahwa hal tersebut diserahkan kepada pasar. “Kalau pasar tidak menerima, kenapa dipaksakan?” ujarnya. Djonny menyebutkan soal tata edar film juga menjadi hal yang perlu diperjelas di PP atau Permen nanti agar bisa tercipta sistem yang adil. “Bioskop ‘kan juga perlu hidup. Kalau film sudah diproduksi dan didistribusi lalu masuk ekshibisi, itu bukan sekadar budaya lagi, tapi sudah industri. Film bukan cuma sekadar kreativitas, tapi juga investasi besar. Maka dari itu ada keberlangsungan yang perlu dijaga.” ujar Djonny.
Pada rapat tersebut, Djonny juga menyampaikan data jumlah layar yang tercatat GPBSI: 685 layar bioskop dalam jaringan Cinema 21/XXI, 86 layar dalam jaringan Blitz Megaplex, dan 72 layar bioskop independen (bukan jaringan). Untuk jangka panjang ke depannya, GPBSI juga menyebutkan rencana untuk kajian pemetaan tentang bioskop. Dengan adanya pemetaan untuk kebutuhan bioskop, dapat ditentukan wilayah terbaik untuk membangun bioskop selanjutnya. Selama ini, masyarakat di daerah yang tidak ada bioskopnya, harus pergi ke daerah lainnya untuk menonton.
Edison, yang juga mengurus bioskop di wilayah Jawa Barat, juga menyampaikan harapannya agar bioskop tidak lagi hanya menjadi objek, tapi juga subjek. ”Pemerintah pusat maupun daerah juga perlu turun tangan. Bioskop bukan cuma soal dagang, tapi juga sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Bioskop dapat menghidupkan sebuah kota, menjadi kota yang aman untuk hiburan keluarga. Hidupnya bioskop bisa menarik investor bidang lain pula.” tambahnya.
Baca juga: Investasi Industri Film Indonesia: Lokal atau Asing? dan Bagaimana Sebaiknya Membantu Perfilman Indonesia