2012 adalah tahun yang sulit untuk mengevaluasi industri perfilman Indonesia. Semua yang terlihat mata dan tercatat sebagai data—yang memberi kesan telah terjadi pertumbuhan pesat (sebagai indikator kemajuan)—tidak seluruhnya menggambarkan kondisi yang sebenarnya.
Sepanjang tahun lalu usaha perbioskopan makin berkembang. Banyak bioskop baru bermunculan, tidak sedikit pula bioskop lama direnovasi menjadi lebih mentereng. Di bioskop-bioskop itu setiap hari masih selalu ada penayangan film Indonesia. Kegiatan perfilman nasional terbesar, FFI (Festival Film Indonesia) 2012, di Benteng Vredeburg, Yogyakarta, pun tetap semarak dan glamor. Termasuk antusiasme rakyat sebagai figuran yang memadati tempat penyelenggaraan acara sekadar buat melihat dari dekat para public figure dari ibukota.
Apalagi di bulan terakhir 2012, Desember, berlangsung semacam perayaan besar film Indonesia. Lobi-lobi bioskop dipadati antrean panjang penonton untuk membeli tiket masuk penayangan 5 cm dan Habibie & Ainun. Hingga 31 Desember 2012, kedua film itu berhasil menghipnotis rata-rata 91 ribu dan 148 ribu penonton dalam satu hari penayangan. Jumlah yang bahkan lebih banyak dari total perolehan penonton separuh lebih atau 46 film lain (masing-masing tidak sampai 90 ribu penonton) yang beredar selama 2012.
Satu dari dua film yang terakhir beredar tahun lalu (27 Desember), Cinta tapi Beda, seolah melengkapi “kejayaan” film Indonesia. Kendati akhirnya cuma berhasil meraup 220.689 penonton, film besutan Hanung Bramantyo dan Hestu Saputra itu seperti menegaskan telah terjadi peningkatan kualitas yang cukup signifikan dalam perfilman Indonesia setahun terakhir. Drama percintaan yang terhalang perbedaan agama tersebut berhasil mengolah persoalan kontemporer yang berlangsung di tengah masyarakat dengan gagasan kuat dan detail penyajian menarik. Kombinasi keberanian, kecerdasan, dan keterampilan sineas Indonesia yang jarang terlihat sebelumnya.
Sekarang mari kita periksa datanya.
Selama rentang Agustus 2012-Februari 2013 jumlah bioskop di Indonesia memang bertambah dari 152 bioskop dengan 675 layar menjadi 162 bioskop dengan 721 layar. Delapan bioskop baru Grup 21/XXI menambah 36 layar, sementara dua bioskop baru Blitzmegaplex menyumbang tambahan 10 layar. Dengan asumsi rata-rata setiap layar berisi 125 kursi, berarti ada penambahan suplai 5.750 kursi. Dikalikan lima kali pertunjukan, terjadi peningkatan kapasitas untuk 28.750 penonton dalam satu hari. Berarti 862.500 penonton per bulan, atau 10.350.000 penonton dalam setahun.
Di luar dua jaringan tersebut ada 17 bioskop independen dengan 47 layar. Karena umumnya kecil serta tidak memiliki data film yang ditayangkan dan jumlah penonton untuk sementara bisa diabaikan.
Adapun jumlah 84 film yang beredar selama 2012 (termasuk hasil restorasi Lewat Djam Malam) relatif sama dengan 2011 (84 film), 2010 (82 film), dan 2009 (84 film), tapi belum bisa menandingi 2008 (87 film). Rata-rata tujuh film dalam sebulan boleh dibilang jumlah yang ajeg, karena Grup 21/XXI setiap minggu memang hanya memberi jatah dua film Indonesia baru. Sementara produser umumnya takut merilis film baru selama bulan Ramadhan.
Pertumbuhan paling mencolok sepanjang 2012 terekam dalam data perolehan jumlah penonton. Setelah melorot drastis menjadi tinggal 16.290.076 penonton pada 2010 (dari 30 juta dan 32 juta pada 2009 dan 2008), lalu menurun lagi jadi 15.028.984 penonton pada 2011, sampai minggu lalu film-film Indonesia yang dirilis tahun lalu sudah disaksikan 18.633.027 penonton. Berarti rata-rata 221.822 penonton per film, atau meningkat banyak dibanding rata-rata 2011 (178.916 penonton per film) dan 2010 (198.659 penonton per film).
Semua itu tampak sebagai kondisi dan statistik yang bagus bukan?
Sayangnya, seperti telah disinggung dalam risalah estetika 2012 sebelum ini, lonjakan penonton 2012 hanya ditopang oleh tiga pilar box office: Habibie & Ainun (4.370.376 penonton), 5 cm (2.388.523 penonton), dan The Raid (1.844.817 penonton). Ketiganya menyumbang 8.603.716 juta penonton. Hampir setengah, tepatnya 46%, dari jumlah penonton setahun. Apabila dicabut dari perhitungan, 81 film lain hanya menghasilkan total 10.029.311 penonton, atau rata-rata 123.818 penonton per film. Jauh mengkeret dari tahun-tahun sebelumnya. Bahkan lebih sedikit dibanding pertambahan kapasitas penonton di 46 layar baru selama setahun (10.350.000).
Sibuk Berbisnis
Paparan di atas mungkin tidak “berbunyi” karena tidak tersedia data film-film impor yang beredar pada tahun yang sama, meskipun dalam pasal 33 UU Nomor 33/2009 tentang Perfilman pengusaha bioskop diwajibkan melaporkan jumlah penonton semua film kepada menteri untuk diumumkan kepada masyarakat. Namun dari segi jumlah saja, menurut Ketua Umum PPFI (Persatuan Produser Film Indonesia), Firman Bintang, tahun lalu terdapat 280 film impor, alias rata-rata 23 film baru dalam satu bulan.
Ketiadaan data membuat kita tidak bisa membandingkan seberapa timpang proporsi, terutama jumlah penayangan dan perolehan penonton, film Indonesia dan film impor yang dilayani bioskop. Apalagi di situs Box Office Mojo, data hasil penjualan kotor film-film MPA (Motion Picture Association of America) di Indonesia, yang masih mendominasi bioskop di Tanah Air, tidak pernah lengkap. Tahun lalu, misalnya, terputus sejak minggu ke-17 (akhir April) dan baru muncul lagi di minggu ke-48 dan 50. Jika lengkap, setidaknya dari data itu kita bisa membuat perkiraan kasar jumlah penonton film-film MPA di Indonesia.
Oleh karena itu, di saat keterbukaan informasi dalam industri film sebagaimana diatur undang-undang film terbaru belum juga terjadi, sementara ini jadi menarik mencermati lebih mendalam risalah perbioskopan 2012 terbitan lebih dari sebulan lalu, yang bersumber dari pencatatan Redaksi FI dari hari ke hari. Dari situ antara lain bisa dibaca, pertumbuhan usaha perbioskopan, yang tercermin dari bertambahnya jumlah bioskop dan layar, ironisnya justru semakin tidak berkolerasi dengan pengembangan perfilman Indonesia.
Sepuluh bioskop yang baru dibuka Agustus 2012—Februari 2013 sama sekali tidak membuka pasar baru, karena dibangun di kota-kota yang sebelumnya memang sudah memiliki bioskop (Bandung, Denpasar, Jakarta, Tangerang, Cirebon, Balikpapan, dan Batam). Artinya, kedua jaringan bioskop yang praktis menguasai pasar film di Indonesia tersebut tidak memberikan kontribusi apapun untuk memberikan kesempatan pada lebih banyak orang Indonesia buat menikmati hak mendapatkan informasi dan hiburan melalui film.
Perhatikan juga persebaran lokasi bioskop yang tidak merata: dari 34 provinsi di Indonesia, hanya 21 provinsi yang memiliki bioskop. Itu pun hanya terkonsentrasi di 31 kota besar. Dilihat dari persebaran populasi, hanya 13% atau 33.552.593 dari 255.587.718 penduduk memiliki akses ke bioskop. Sebanyak 87% atau 222.035.125 penduduk lain tidak bisa menonton di bioskop. Bukan karena tidak suka film Indonesia.
Masih dari risalah yang sama, kita juga bisa mengetahui harga tiket bioskop beberapa kali diam-diam terus merangkak naik. Di bioskop-bioskop Grup 21/XXI (di luar kelas Premiere dan 3D yang jarang menayangkan film Indonesia) rentang harga tiketnya kini jadi Rp 10.000—Rp 75.000, sedangkan kelas Reguler di Blitzmegaplex meningkat Rp 15.000—Rp 60.000. Penting dicatat, hanya tinggal satu bioskop dengan harga tiket masuk Rp 10.000 (Buaran), dua bioskop bertiket Rp 15.000 (Studio Cirebon, Kepri Mall Batam), dan sepuluh bioskop bertarif Rp 20.000. Hanya 8% dari total 162 bioskop yang ada. 92% lainnya, atau 149 bioskop, tiketnya terbilang mahal: Rp 25.000—75.000.
Bersamaan dengan kenaikan harga tiket masuk, orientasi Grup 21/XXI juga makin terlihat berubah. Dari 153 bioskop, kelas 21 memang masih lebih banyak jumlahnya (70 bioskop, 45,74%) daripada kelas XXI (65 bioskop, 42,48%). Namun, dilihat dari jumlah layar, keadaan justru sebaliknya. Kelas XXI (337 layar, 52,25%) lebih banyak dibandingkan dengan Kelas 21 (282 layar, 43,72%). Padahal, dilihat dari rentang harga tiket dan lokasi bioskopnya, kelas XXI (bersama Blitzmegaplex) menyasar penonton kelas ekonomi menengah ke atas dan kelas 21 menengah ke bawah.
Semakin menggemuknya jumlah layar kelas XXI dan ekspansi Blitmegaplex, ditambah strategi pengembangan yang berlokasi di mal dan menjauhi kota-kota kecil, merupakan penanda yang terang benderang bahwa kedua jaringan bioskop itu lebih tertarik melayani penonton menengah ke atas. Artinya, perlahan-lahan mulai meninggalkan penonton menengah ke bawah, yang sejak dahulu justru merupakan basis terbesar penonton film Indonesia. “Mereka memang tidak punya hati pada film Indonesia,” Firman Bintang ikut menegaskan.
Hampir tidak mungkin pengelola kedua jaringan tersebut tidak mengetahui. Film terlaris, Habibie & Ainun, sebagai contoh, selama 14 minggu bertengger di Grup 21/XXI ditayangkan di lebih banyak bioskop kelas 21 (63,20%) dibanding kelas XXI (36,80%). Dalam tiga minggu pertama sudah diputar di 296, 940, dan 802 layar 21, namun hanya di 196, 630, dan 589 layar XXI. Pada tiga minggu terakhir malah hanya ditayangkan di layar kelas 21 saja. Data penayangan film horor terlaris kedua yang masih memiliki kualitas artistik bagus, Rumah Kentang (413.102 penonton), semakin mempertegas hal itu: 79,61% di layar 21 dan hanya 20,32% di layar XXI. Pada 5 minggu terakhir dari 11 minggu penayangan bahkan tidak tersisa lagi di kelas XXI.
Blitzmegaplex, karena sejarah dan skalanya yang masih kecil sehingga tidak dibebani kewajiban menayangkan semua film Indonesia, sering menolak film-film Indonesia yang dianggap tidak cocok dengan profil penontonnya. Konon Grup 21/XXI juga beberapa kali menjajagi kemungkinan untuk bisa memilih film-film Indonesia untuk ditayangkan. Tapi kalangan produser dengan tegas menolak. “Karena mereka memonopoli. Lain ceritanya kalau bioskop jadi bidang usaha terbuka,” tukas Firman Bintang.
Secara sadar menganaktirikan masyarakat menengah ke bawah sama artinya meninggalkan penonton film Indonesia. Kedua jaringan besar itu tampaknya sibuk membesarkan bisnis sendiri dengan mengabaikan film Indonesia. Barangkali kontribusi 18,6 juta penonton film Indonesia (sekitar 381 ribu di antaranya di Blitzmegaplex), atau pendapatan kotor –dengan asumsi rata-rata harga tiket masih Rp 22.000 (padahal kini sudah meningkat rata-rata Rp 30.000)-- lebih dari Rp 400 miliar (Grup 21/XXI) dan sekitar Rp 8 miliar (Blitzmegaplex), hanya “recehan” dibanding pendapatan dari film impor. Sulit membuktikan atau membantah analisis tersebut karena, sekali lagi, kita tidak memiliki data film-film impor (jumlah dan lama penayangan, perolehan penonton, dan pendapatan kotornya) sebagai pembanding. Apalagi, dari film impor, Grup 21/XXI melalui afiliasinya juga mendapat keuntungan ganda sebagai importir.
Dalam diskusi terbatas “Menata Ulang Infrastruktur Industri Agar Lebih Berpihak ke Film Indonesia” yang diselenggarakan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), 16 April lalu, produser yang aktif dalam berbagai organisasi perfilman, Zairin Zain, mengatakan, “Keterbukaan bukan soal niat baik bioskop atau permintaan kita. Ini perintah undang-undang (Nomor 33/2009). Seharusnya semua orang tunduk pada undang-undang.”
Angin baiknya, Chaterine Keng, Corporate Secretary Grup 21/XXI, dalam diskusi yang sama, mengatakan pihaknya sudah dan akan terus mengembangkan keterbukaan. Produser/sutradara dan mantan Ketua BP2N (Badan Pertimbangan Perfilman Nasional), Deddy Mizwar, segera mengingatkan bahwa yang harus dibuka bukan hanya data-data film Indonesia, tetapi juga film-film impor.
Hanya dengan itu, semua pihak bisa memperoleh gambaran menyeluruh mengenai kondisi pasar film di Indonesia, yang menurut Editor situs FI, JB Kristanto, menyimpan potensi pendapatan (dihitung dari kapasitas tersedia dengan rata-rata harga tiket masuk Rp 25.000) sekitar Rp 5,2 triliun per tahun. Dibandingkan jumlah tersebut, pendapatan seluruh film Indonesia sekitar Rp 480 miliar tahun lalu belum sampai 10%-nya. Taruh kata dari data yang dibuka nanti diketahui bioskop baru mampu menjual sepertiga kapasitasnya (Rp 1,7 trililun), proporsinya baru 28%, alias masih jauh dari amanat Pasal 32 undang-undang film baru yang mewajibkan bioskop mempertunjukkan film Indonesia sekurang-kurangnya 60% dari seluruh jam pertunjukan yang dimiliki.
Keterbukaan juga seharusnya dilakukan dalam segala hal yang bersangkut-paut dengan nasib film Indonesia dalam peredaran, misalnya mekanisme permintaan jadwal tayang. “Kalau saya atau Deddy Mizwar bisa gampang mendapat jadwal tayang, gimana yang lain?” tanya Firman Bintang pada kesempatan terpisah. Deddy Mizwar menimpali, “Yang diberlakukan seharusnya sistem, yang berlaku sama untuk semua orang.” Begitu pula, sebagai sistem yang terbuka, semestinya kriteria penambahan/pengurangan jumlah penanyangan dan penurunan film dari bioskop bisa diakses semua orang."
Di depan peserta diskusi Zairin Zain membagi pengalaman saat menjadi konsultan produksi Sang Pialang. “April produser kirim email minta jadwal tayang, tapi sampai September belum dijawab,” tuturnya. Film itu akhirnya baru bisa ditayangkan 17 Januari 2013.
Maka, dalam kondisi hari ini, ketika bioskop kian mentereng namun kian tak terjangkau sebagian besar masyarakat Indonesia, sementara industri perfilman masih saja tertutup dan terselubung “misteri”, lupakanlah mimpi yang di zaman Orde Baru dulu dislogankan sebagai “film Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri”. Zaman ketika, misalnya, 35 film Warkop (produksi 1979-1994) yang ditayangkan dua kali dalam setahun selalu meraih peringkat terlaris, konon di atas 10 juta penonton per film. Di mana orang sebanyak itu bisa menonton, padahal cuma ada 282 layar kelas 21 (dengan kemungkinan terus berkurang karena ditingkatkan menjadi kelas XXI) di hanya 31 kota besar dan sebagian besar bertiket masuk Rp 25.000—Rp 50.000?
Terlepas dari kualitasnya, film-film yang digemari masyarakat di seluruh Indonesia semacam itu memberi suntikan finansial sangat besar pada industri perfilman Indonesia, yang pada gilirannya memberi ruang lebih luas bagi sineas-sineas seperti Teguh Karya, Sjuman Djaya, Nya Abbas Akup, Arifin C. Noer, dan lain-lain. Jangan pernah lupa, era itu juga melahirkan film-film besar dan legendaris yang hingga kini masih terus dikenang dan dijadikan kajian di seantero dunia.
Kartu Mati
Pepatah “sudah jatuh tertimpa tangga” merupakan ungkapan yang tepat buat melukiskan nasib film Indonesia sekarang. Setelah diam-diam makin ditinggalkan bioskop, pemerintah tetap saja mengabaikan. Sebagaimana disoroti dalam risalah industri semester pertama, Agustus lalu, sampai 2012 berakhir pemerintah masih menjadi kartu mati yang tidak sungguh-sungguh mendukung usaha-usaha mengembangkan dan melindungi perfilman Indonesia, termasuk dari ekses liberalisasi pasar.
Kemenparekraf sepanjang 2012 hanya terlihat menyelenggarakan FFI di Yogyakarta. Dalam skala kecil, sesungguhnya terdapat lebih dari 60 program lain dengan anggaran masing-masing Rp 500 juta-Rp 4 miliar. Karena tidak seluruhnya terselenggara, anggaran yang terserap diperkirakan hanya sekitar Rp 50 miliar.
Sementara itu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), dengan anggaran Rp 80 miliar dari APBN Perubahan 2012, malah tampak jauh lebih aktif. Sepanjang September-Desember 2012 mereka serentak menyelenggarakan Apresiasi Film Indonesia (AFI), Jambore Film Pendek (JFP), Digitalisasi 29 Film Klasik Koleksi Sinematek Indonesia, Bioskop Keliling dan Pembelian Hak Tayang 20 Film Indonesia, Fasilitasi Bioskop Rakyat (Biora), Pendukungan Pembinaan Film Pendek di Dalam Negeri dan Luar Negeri, Fasilitasi Produksi Film Pendek, Workshop Peningkatan Produksi Film, serta Lomba Penulisan Skenario Cerita Anak, Nasionalisme, dan Kepahlawanan.
Sakilas terlihat, program-program tersebut tidak dirancang dengan visi dan strategi yang jelas. Program Kemenparekraf terkesan tertutup dan program Kemendikbud seperti dilakukan tergesa-gesa. Hampir seluruhnya minim sosialisasi, sehingga hanya sedikit diketahui dan melibatkan penggiat dan pekerja film di Tanah Air. Karena itu sulit menghindari penilaian negatif bahwa program-program itu dilaksanakan sekadar buat menghabiskan anggaran dan bagi-bagi proyek.
Seluruh program dua kementerian selama 2012 yang menghabiskan uang rakyat sekitar Rp 130 miliar itu tentu saja tidak sia-sia. Tapi tanpa visi dan strategi yang jelas serta koordinasi antarkementeriaan yang baik, kemanfaatannya pasti jauh dari maksimal. Penyelenggaraan AFI, misalnya, yang hanya menjiplak FFI dengan tambahan label konten “kebangsaan”, sepenuhnya mubazir. Bioskop keliling masih menggunakan proyektor analog yang bakal kesulitan menayangkan film-film baru. Contoh lain, bagaimana mekanisme, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban program-program Fasilitasi Film Bermutu untuk Mengikuti Festival Film di Tingkat Internasional, Partisipasi Aktif Indonesia pada Event Film Internasional, Apresiasi dan Pengiriman Delegasi RI pada Event Film Internasional, Partisipasi pada Workshop/Seminar Film Indonesia, dan banyak lagi lainnya.
Jadi, selain ketiadaan visi dan strategi yang jelas, dualisme pengurusan perfilman oleh dua kementerian pascarestrukturisasi kabinet 2011 rupanya malah jadi faktor penghambat baru. Faktanya dualisme itu masih membingungkan bukan hanya bagi para pelaku industri perfilman tetapi juga para birokrat di kedua kementerian itu sendiri. Dalam beberapa konferensi pers peluncuran program-programnya, Wamendikbud Wiendu Nuryanti serta Direktur Pembinaan Kesenian dan Perfilman Sulistyo Tirtokusumo mengatakan bahwa Kemendikbud mengurusi sektor hulu perfilman sedangkan Kemenparekraf sektor hilirnya. Apalagi sektor hulu salah satunya diartikan sebagai film pendek, karena dianggap ajang berlatih sebelum memproduksi film cerita panjang.
Kenyataannya, industri perfilman adalah mata rantai yang (seharusnya) terus berputar melingkar tanpa hulu dan hilir. Apabila disederhanakan, mata rantai perfilman bisa dikelompokkan menjadi lima bagian yang saling terkait dan menunjang: Produksi, Distribusi, Eksibisi, Apresiasi, dan Studi/Kajian. Dengan pemahaman seperti itu, akan lebih mudah membagi tugas dan kewenangan masing-masing. Kemenparekraf menangani sisi ekonomi (Produksi, Distribusi, dan Eksibisi), sedangkan Kemendikbud bertanggung jawab atas sisi budaya dan pendidikannya (Apresiasi dan Studi/Kajian).
Beberapa bulan terakhir beredar kabar pejabat di kedua kementerian sedang melalukan pembicaraan intensif mengenai pembagian tugas dan kewenangan yang tidak sekadar mendikotomi hulu dan hilir. Kita masih harus menunggu hasilnya. Tetapi kalau pembagian tersebut dilakukan dengan pemahaman seperti di atas, berarti banyak hal akan berubah. FFI dan sangat banyak program (kompetisi, apresiasi, dan peningkatan sumber daya manusia) yang menyita mungkin hampir separuh anggaran perfilman Kemenparekraf mesti berpindah tangan ke Kemendikbud. Hal itu sekaligus menyadarkan kita, program dan anggaran yang selama ini dialokasikan untuk pengembangan kegiatan Produksi, Distribusi, dan Eksibisi ternyata masih sangat minim. Itulah tampaknya salah satu penyebab pasar film di Indonesia, dalam arti kegiatan ekonomi perfilmannya, praktis tidak terurus, nyaris tanpa kendali pemerintah.
Tugas dan kewenangan Kemendikbud dalam bidang Apresiasi dan Studi/Kajian juga bakal menimbulkan persoalan internal organisasi. Di Kemendikbud sekarang perfilman hanya ditangani satu Sub Direktorat (Literasi dan Apresiasi) yang dipimpin pejabat eselon 3 (Kasubdit). Pejabat di atasnya adalah Direktur (Pembinaan Kesenian dan Perfilman) dan Dirjen (Kebudayaan) yang tidak sepenuhnya fokus pada perfilman. Bahkan pejabat tertinggi yang mengurusi perfilman, Wamen bidang Kebudayaan, hanya membawahi satu Ditjen (Kebudayaan). Padahal, program-program dalam bidang Apresiasi dan Studi/Kajian –sekali lagi jika benar akan menjadi tugas dan kewenangan penuh Kemendikbud—membutuhkan bukan hanya koordinasi tetapi juga penyelengaraan oleh setidaknya Ditjen Pendidikan Tinggi serta Ditjen Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal, dan Informal. Padahal, keduanya berada di bawah koordinasi Wamen bidang Pendidikan.
Sementara itu, sejak awal restrukturisasi kabinet telah berembus aspirasi dan desakan agar urusan perfilman sepenuhnya dipindahkan ke Kemendikbud. Argumentasinya, dalam Pasal 1 Ayat 12 UU Nomor 33/2009 jelas disebutkan bahwa yang dimaksud menteri adalah “menteri yang membidangi urusan kebudayaan.” Apalagi, Kemenparekraf (khususnya bidang Ekonomi Kreatif) yang kini masih mengurusi perfilman karena mewarisi tugas dan kewenangan kementerian terdahulu belum tentu masih ada dalam kabinet pemerintahan baru tahun depan. Tentu saja pemindahan itu bakal menimbulkan persoalan lebih serius. Kemendikbud harus menambah unit-unit organisasi dan pejabat baru yang lebih memahami persoalan perfilman dan industrinya buat menangani juga sisi ekonomi perfilman (Produksi, Distribusi, dan Eksibisi). Jika tidak, tiga kegiatan besar dengan segudang persoalan tersebut tetap atau bahkan lebih terabaikan dibandingkan saat ditangani Kemenparekraf sekarang.
Sebaiknya persoalan dualisme itu segara diselesaikan, karena di depan mata sudah menanti PR (pekerjaan rumah) mendesak yang sudah terlalu lama dibiarkan oleh pemerintah. Sampai sekarang belum satu pun pasal UU Nomor 33/2009 dijalankan, termasuk membuat peraturan-peraturan pemerintah yang diperlukan. Padahal dalam Ketentuan Penutup Pasal 88 jelas diatur kewajiban pemerintah untuk merampungkan dalam tempo satu tahun setelah undang-undang disahkan, yaitu 8 Oktober 2009. Sementara di Pasal 89 disebutkan, setelah undang-undang baru berlaku otomatis UU Nomor 8 /1992 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, termasuk semua peraturan pelaksanaannya.
Karena kekosongan hukum itu masa tugas anggota Lembaga Sensor Film (LSF) 2009-2012 yang berakhir 24 Februari 2012 kemudian diperpanjang oleh Wamendikbud Wiendu Nuryanti, sampai peraturan pemerintah baru pengganti PP No. 7/1994 tentang LSF diterbitkan. Dalam undang-undang baru, anggota LSF yang kini berjumlah 45 orang dipangkas menjadi 17 orang.
Belakangan beredar Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang LSF yang terkesan lebih represif dibanding sebelumnya, karena mengatur pelarangan atau kriteria penyensoran (Pasal 27-32) sampai ke detail adegan visual tanpa konteks dengan keseluruhan cerita. Misalnya, luka, memar dan/atau berdarah-darah akibat kekerasan yang diambil secara close up; adegan pelaksanaan berjudi secara berlebihan; gerakan, suara dan/atau bunyi yang mengesankan berlangsungnya hubungan seks dalam berbagai sikap; adegan yang menampilkan tawuran massal; adegan visual dan/atau verbal yang bertentangan dengan akidah, hukum dan/atau ajaran agama yang dilayani oleh negara; adegan yang menampilkan tindakan melawan hukum dan/atau anarkis; adegan visual dan/atau verbal yang mengeksploatasi tenaga manusia; adegan visual pemisahan anak dari orangtuaya secara paksa; dan lain sebagainya.
Belum lagi soal perluasan sekaligus perpanjang tangan LSF melalui perwakilan di ibukota provinsi. Tidak mengherankan karena dalam Pasal 20 Ayat 1 tertulis, “Penyensoran film dan iklan film dilakukan untuk melindungi masyarakat dari pengaruh negatif film dan iklan film yang diedarkan dan/atau dipertunjukkan sesuai dengan asas, tujuan, dan fungsi perfilman Indonesia.” Sulit mengindari prasangka bahwa RPP itu dibuat dengan asumsi orang-orang film Indonesia merupakan kumpulan orang tidak berpendidikan dan bermoral bejat, sehingga perlu dikerangkeng dan didikte sampai begitu rincinya.
Yang lebih mengherankan, mengapa pemerintah justru mendahulukan bagian dari UU Nomor 33/2009 yang justru masih dipersoalkan oleh kalangan perfilman, sementara banyak biagian lain didiamkan terus? Terutama pasal-pasal Kegiatan Perfilman dan Usaha Perfilman (Bab III), yang jelas-jelas menegaskan tanggung jawab dan keberpihakan pemerintah pada perfilman Indonesia. Jangan-jangan benar selentingan yang beredar, sebagaimana sulitnya mencabut bidang usaha distribusi film (ekspor, impor, dan pengedaran) dalam Peraturan Presiden Nomor 3/2010 tentang Daftar Investasi Negatif, semua ini sudah menjadi permainan politik tingkat tinggi?
Pilihan pemecahan persoalan yang tersedia dengan demikian juga mesti melalui jalur politik, yaitu melakukan parliamentary review. Para pelaku industri perfilman Indonesia meminta DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), yang mengesahkan UU Nomor 33/2009 tiga setengah tahun lampau, untuk memaksa pemerintah melaksanakan semua kewajiban dalam Bab III (Pasal 5-44). Bersamaan dengan itu sekaligus meminta DPR merevisi beberapa bagian yang merugikan perfilman Indonesia, yakni mengenai Sensor Film (Bab VI) dan Peran Serta Masyarakat (Bab VII). BPI (Badan Perfilman Indonesia) seharusnya diperkuat menjadi institusi negara independen seperti KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia), dan lain-lain, yang memiliki tanggung jawab dan kewenangan lebih kuat serta mendapat pembiayaan penuh dari APBN. Namanya bisa diubah jadi Komisi Film Indonesia.
Menolong Diri Sendiri
Jika seperti itu kondisinya, bagaimana menjelaskan, meskipun ditinggalkan bioskop dan diabaikan pemerintah, perfilman Indonesia tetap “bergairah”, sepanjang 2012 melahirkan 83 film baru (hanya yang ditayangkan di bioskop) dan menyedot penonton sampai 18,6 juta lebih penonton? Penjelasannya ternyata masih sama dengan analisis dalam risalah industri semester pertama 2012. Hampir tidak ada yang berubah, beberapa malah semakin memburuk, selama enam bulan terakhir.
Salah satu siasat yang kini praktis dilakukan semua pembuat film adalah menekan biaya produksi seefisien mungkin. Sutradara produktif yang sampai dua tahun lalu hampir semua filmnya masih selalu balik modal sekarang mesti berproduksi dengan bujet di bawah Rp 500 juta per judul, atau tidak sampai sepertiga dari sebelumnya Rp 1,7 miliar. Siasat itu dalam jangka panjang bisa berbahaya karena juga mendegradasi kualitas estetika dan nilai produksi.
Situasi sulit juga menjadikan para pembuat film lebih peka memahami pasar untuk mengikuti arah embusan angin. Genre komedi, horor, dan horor-komedi perlahan-lahan ditinggalkan karena mulai kempis pasarnya, antara lain akibat berkurangnya bioskop yang sesuai dan kenaikan harga tiket masuk. Tahun lalu tinggal 19 film horor, sembilan komedi, dan empat horor-komedi dibuat, dengan total perolehan 4.060.738 penonton, atau rata-rata hanya 129.898 penonton per judul.
Pasar yang didominasi pengunjung mal di kota-kota besar dan masih mampu membayar tiket Rp 25.000-Rp 75.000 mengisyaratkan kecenderungan seleranya pada genre drama. Begitulah, tahun lalu diproduksi 46 film drama yang diminati duapertiga total penonton film Indonesia 2012, yaitu 12.310.024 penonton, atau rata-rata 267.609 penonton per judul.
Toh, pilihan itu pun masih perlu disiasati lebih jauh. Salah satu yang relatif efektif ialah dengan mengangkat cerita adaptasi, terutama dari buku atau novel populer yang telah memiliki basis pembaca cukup banyak. Lebih banyak dari sebelumnya, tahun lalu terdapat 15 film dengan cerita adaptasi. Empat di antaranya (Habibie & Ainun, 5 Cm, Negeri 5 Menara, Perahu Kertas) berhasil masuk lima film terlaris 2012, dan satu lagi (Perahu Kertas 2) menempati peringkat terlaris kesembilan.
Selain itu terdapat setidaknya delapan film yang dengan sadar menghindari stereotip penggambaran kehidupan remaja atau keluarga urban, yang selama ini secara gampangan diasumsikan disukai penonton di kota-kota besar yang lebih terkeskpos oleh serbuan urbanisme dari layar televisi. Negeri 5 Menara, Soegija, Di Timur Matahari, Tanah Surga... Katanya, Rumah di Seribu Ombak, Keumala, Atambua 39 Derajat Celcius, dan Cita-citaku Setinggi Tanah mencoba mengolah keragaman budaya dan persoalan manusia Indonesia yang mungkin “asing” bagi penonton bioskop di mal. Bersama road movie Rayya, Cahaya di Atas Cahaya, eksplorasi tersebut dilakukan buat membangkitkan minat pasar. Beberapa di antaranya bahkan harus dilakukan dengan memperbesar risiko kerugian, karena biaya produksi yang jauh lebih besar dibanding drama biasa.
Jadi kelesuan pasar, yang terbaca dari kekosongan tren sebagai semacam “resep sukses mujarab”, menyebabkan para pembuat film lebih kreatif dan berani mengambil risiko dengan tawaran-tawaran yang lebih beragam dan “baru”. Justru di saat tidak tersedia jalan pintas, lebih dari sebelumnya tahun lalu diproduksi lima film anak-anak (Brandal-Brandal Ciliwung, Ambilkan Bulan, Petualangan Singa Pemberani, Cita-citaku Setinggi Tanah, Jenderal Kancil The Movie, Pasukan Kapiten), serta lima film omnibus (Jakarta Hati, Dilema, Sanubari Jakarta, Hi5teria, dan Sinema Purnama).
Penting juga dicatat, masih dalam usaha membuka peluang pasar, tahun lalu muncul sejumlah film yang mencoba mengangkat persoalan kontemporer Indonesia dengan pendekatan yang jauh lebih berani dari sebelumnya (Mata Tertutup, Lovely Man, Cinta tapi Beda, Sanubari Jakarta, Jakarta Hati, Dilema, Sang Martir).
Di samping dampak langsung dari merebaknya teknologi digital yang mendemokratisasi pembuatan film, krisis juga menyebabkan bahkan sutradara dengan filmografi panjang dan sederet sukses bukan lagi jaminan keberhasilan meraup penonton. Akibatnya, lebih dari sebelumnya, tahun lalu banyak bermunculan sutradara baru. 46 dari 78 sutradara yang membuat film tahun lalu, atau hampir separuhnya (46%), merupakan debutan yang baru pertama kali membuat film cerita panjang untuk bioskop. Memang, 16 di antaranya berkarya dalam film-film omnibus.
Akhirnya, setelah segala daya dan upaya dilakukan sepanjang 2012 oleh para pelaku industri perfilman Indonesia, bagaimana hasilnya?
Dengan mengabaikan perolehan penonton tiga anomali box office (Habibie & Ainun, 5 Cm, The Raid), film-film lain hanya menghasilkan total 10.029.311 penonton, atau rata-rata cuma 123.818 penonton per film. Lebih menyedihkan lagi, tahun lalu hanya terdapat 20 film (24%, tidak sampai seperempat dari seluruh film) yang berhasil memperoleh lebih dari 200 ribu penonton. Terus menurun dibanding tahun-tahun sebelumnya: 24 film (2011), 30 film (2010), 54 film (2009), dan 48 film (2008).
Angka 200.000 penonton diasumsikan sebagai rata-rata titik impas sebuah film standar. Dengan biaya produksi dan promosi Rp 2-3 miliar, pendapatan tiket rata-rata Rp 25.000 (dipotong pajak hiburan dan dibagi dua dengan bioskop), menghasilkan pemasukan sekitar Rp 2 miliar. Di luar itu ada potensi pendapatan dari penjualan hak siar televisi sebesar Rp 700 juta-Rp 1 miliar. Jika biaya produksi lebih mahal, atau penjualan ke televisi lebih rendah, otomatis diperlukan pemasukan lebih banyak lagi dari tiket bioskop.
Bila masih perlu disimpulkan, rumusan paling pas adalah: perfilman Indonesia tidak seindah yang terlihat mata dan tercatat sebagai data (yang masih seadanya). Para pelakunya semakin hari semakin berdarah-darah kendati sudah dan tidak akan pernah berhenti berjuang sendiri dengan berbagai cara yang masih sanggup dilakukan. Ironisnya, sekadar untuk memperlambat kematiannya di dalam industri dan pasar yang sudah terdistorsi sedemikian rupa.
Untuk memberi gambaran terkini, sampai minggu ketiga April 2013 sudah 30 film Indonesia memasuki pasar. Baru satu film (Air Terjun Pengantin Phuket) melewati 200 ribu penonton, enam film (dua masih ditayangkan) di atas 100 ribu penonton, dan 23 film lainnya (delapan masih beredar) di bawah 100 ribu penonton.
Tanpa dukungan infrastruktur dan suprastruktur, yang merupakan domain pemerintah, sementara tidak seorang pun bisa memastikan apakah pemerintah sungguh-sungguh masih ada, sebaiknya kita mulai bersiap-siap menyambut kematian film Indonesia kali ini dengan dagu tegak. Sedikitnya agar tidak kehilangan harga diri, sebagaimana Minke dan Nyai Ontosoroh dalam penutup novel Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia.
“Kita kalah, Ma,” bisikku.
“Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”
Baca juga Risalah 2012 lainnya:
Jumlah Bioskop Bertambah, Harga Tiket Naik (Deden Ramadani)