Es Lilin adalah lagu rakyat Jawa Barat yang digemari Idris Sardi. Struktur nada lagu ini melodius dan seperti lazimnya lagu-lagu yang berasal dari Pasundan memiliki lekuk dan liuk notasi yang khas. Saat berkolaborasi dengan pemusik jazz Jopie Item dalam konser jazz rock di Taman Ismail Marzuki tahun 1977 Idris Sardi menafsirkan Es Lilin dalam perangai jazz rock yang sarat eksperimentasi. Liukan gesekan biolin Idris bersanding dengan raungan gitar elektrik Jopie Item serta bunyi-bunyian sintesis miniMoog yang dimainkan Abadi Soesman.
Es Lilin memang memiliki dua perangai yang beda, bermula dengan riak melodi santun namun berlanjut dengan ekspresi yang berlumur agresivitas. Tak syak lagi Idris Sardi menggemari esensi musik seperti ini. Tak heran jika kelebat adegan kejar-kejaran dalam film besutan Teguh Karya, Doea Tanda Mata, yang mengambil setting kolonialisme di Indonesia era 30an,Idris Sardi melatarinya dengan musik yang diadapatasi dari lagu Es Lilin, dikemas dengan gaya simfonik yang riuh meledak-ledak. ”Ruh dari Es Lilin itu Sunda, tapi saya mengemasnya dalam gaya simfoni klasik tanpa harus menghapus nuansa Sundanya,” tutur Idris Sardi saat saya mewawancarainya pada November 2008.
Sebagai pembuat music score (skor musik) film yang mumpuni , Idris Sardi menurut saya sangat kuat dalam penafsiran musik. Dia memahami sinema secara estetika. Sosok Idris tak sekedar membuat illustrasi musik pada kelebat adegan film, tapi Idris adalah jembatan yang mengaitkan medium film dengan musik. Bahkan Idris Sardi lebih tepat jika disebut sebagai penghulu yang menikahkan film dan musik. Abrar Siregar kepada majalah Violeta edisi no.7,4-11 Agustus 1972 bertutur tentang Idris Sardi, ”Tampaknya dia dirasakan kebanyakan produser-produser film sebagai mak comblang yang arif dalam menjodohkan gambar dengan musik.”
Dalam percakapan dengan saya enam tahun silam, Idris Sardi menuturkan bahwa seorang pembuat skor musik film layar lebar harus memiliki etos kerja seperti seorang arsitek. Ia membantu sutradara mengisi kekosongan adegan serta mencipratkan kandungan emosi dalam plot cerita. ”Musik itu harus melebur dengan film. Menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Pola kerja saya dalam membuat skor untuk film selalu diawali dengan melakukan diskusi, brainstorming dengan produser, sutradara dan penulis skenario,” ungkap Idri Sardi.
Seorang pembuat skor musik film, menurut Idris Sardi, adalah seorang komposer yang menguasai pakem harmoni, instrumentasi, mampu melakukan interpretasi dan memiliki visi yang bagus. Dengan kriteria seperti itu, seorang penulis skor musik film bisa membuat ilustrasi untuk film dalam genre apapun. Kriteria seperti ini telah mendarah daging dalam Idris Sardi yang telah nmembuat ratusan skor musik sinema.
Perfini
Idris Sardi mulai memasuki dunia penggarapan musik film di tahun 1953 sebagai pemain biolin untuk film-film produksi Perfini yang musiknya digarap oleh George “Tjok” Sinsoe dan Saiful Bachrie. Musik film yang didukung Idris Sardi saat itu adalah karya-karya Usmar Ismail seperti Tamu Agung (1955) dan Tiga Dara (1956) dengan illustrator musik Saiful Bachrie hingga Lewat Djam Malam (1955) dengan illustrasi musik George “Tjok” Sinsoe.
Pengalaman Idris Sardi sebagai pemusik dalam produksi film dengan berbagai genre seperti drama, komedi, laga hingga perang kian memantapkan wawasannya dalam menterjemahkan gambar lewat bunyi-bunyian musik.
Tahun 1960 Idris Sardi diminta oleh sutradara Misbach Jusa Biran untuk memainkan biolin solo dalam film musikal Pesta Musik Labana yang menampilkan enam Orkes ternama (saat itu kelompok musik disebut Orkes bukan band) seperti Teruna Ria, Eka Djaja Combo, Dolok Martimbang, Kinantan, Irama Agung, dan Orkes Idris Sardi.
Skor musik untuk film pertama yang digarap secara utuh oleh Idris Sardi adalah untuk film Djakarta By Pass(1962) karya sutradara Liliek Sudjio. Di tahun 1965 Idri Sardi diminta untuk menggarap skor musik buat film Matjan Kemajoran yang disutradarai Wim Umboh. Wim Umboh sendiri adalah salah satu sutradara yang banyak mempercayakan illustrasi musik film-filmnya pada Idris Sardi.
Di tahun 1967, Idris Sardi pertamakali meraih penghargaan sebagai Penata Musik Terbaik dalam Pekan Apresiasi Film Nasional di Jakarta untuk film Petir Sepandjang Malamyang dibintangi Hadisjam Tahax, Maroeli Sitompul, Dolf Damora dan disutradarai S Waldy dan Sjarieffudin.
Mulai saat itu sosok Idris Sardi jadi perbincangan kalangan dunia sinema Indonesia terlebih lagi ketika garapan musiknya yang bernuansa jazz dalam film Djakarta,Hongkong Macau (1968) garapan sutradara Turino Djunaedi mendapat tanggapan positif dari para pengamat musik dan film. Idris Sardi lalu meraih penghargaan sebagai Penata Musik Terbaik dalam Festival Film Asia lewat film Bernafas Dalam Lumpur (1970) yang dibintangi Suzanna dan dibesut Turino Djunaedi.
Kiprah musik Idris Sardi yang pernah menjadi bassist Eka Sapta dan penggesek biolin Suara Lensois ternyata lebih banyak tercurahkan pada dunia sinema terutama pada era 70an hingga 80an. Saat itu nama Idris Sardi selalu ada dalam banyak produksi film. Idri Sardi bahkan telah meraih sebanyak 10 piala Citra dalam Festival Film Indonesia. Kesepuluh Piala Citra itu diperoleh Idris Sardi untuk film Perkawinan (1972), Cinta Pertama (1973), Senyum Di Pagi Bulan Desember (1974), Sesuatu Yang Indah (1976), Budak Nafsu(Fatima) (1983), Doea Tanda Mata (1984), Ibunda (1986), Tjoet Nja Dhien (1986), Noesa Penida (Pelangi Kasih Pandansari) (1988), dan Kuberikan Segalanya (1992). Ini belum termasuk beberapa penghargaan-penghargaan lain yang pernah diterima Idris Sardi semasa hidupnya seperti Festival Film Asia, Festival Film Asean, Festival Film Asia Pacifik,
Dalam catatan saya Idris Sardi adalah pemusik yang banyak memasukkan anasir musik etnik dan religi dalam musik filmnya. Dalam film Operasi Tinombala (1977) Idris Sardi menulis musik berdasarkan nada tauhid La Illaha Illalah dalam berbagai versi pada adegan yang berbeda-beda. Dalam film Mutiara di Khatulistiwa (Di Hatiku Ada Kamu) (1990) yang diutradarai Franky Rorimpandey, Idri Sardi menulis notasi musik berdasarkan nada adzan. Dalam film Tjoet Nja Dhien (1986) karya Erros Sjarot, Idris Sardi membangun tata musiknya berdasarkan musik tradisi Aceh, hal yang pernah dilakukan oleh ayahnya sendiri Mas Sardi saat membuat skor musik untuk film Rentjong Atjeh (1940) yang disutradarai The Teng Chun. Idris Sardi memang mewarisi seluruh kemampuan musik yang dimiliki sang ayah, Mas Sardi, mulai dari penggesek biolin, komposer, hingga ke pembuat skor untuk film layar lebar.