Artikel Kajian
Mengapa jumlah penonton turun terus, dan bagaimana bisa tahun ini hanya lima persen penduduk yang menonton film nasional? Usaha untuk menjawab pertanyaan ini berujung pada sejumlah catatan, renungan, dan harapan.
Meneliti bioskop di Indonesia terkadang seperti napak tilas. Mereka yang sudah tiada tercerap menjadi angka di statistik, sementara yang masih ada hampir tidak terdokumentasikan sejarah keberadaannya.
Dari 171 bioskop di Jawa Tengah, sekarang tinggal 12 yang masih beroperasi. Masalah distribusi film menyebabkan banyak bioskop daerah gulung tikar, dan menutup akses untuk penonton kalangan menengah-ke-bawah.
Ke depan bisa diprediksi bahwa bioskop digital akan menjadi standar. Namun, masih banyak kendala yang menghambat konversi digital ini, terutama di Indonesia. Faktor utamanya adalah finansial.
Jumlah layar film Lebaran tahun ini menunjukkan bahwa film Indonesia bisa menjadi tuan di rumah sendiri. Masalahnya, jumlah layar baru satu cerita. Masih ada cerita lain yang belum terkuak, yakni bagaimana film-film Lebaran tahun ini terancam tak ada yang balik modal.
Penangguhan PPn atas royalti film impor berarti pemerintah (negara/rakyat) yang menanggung beban itu. Penonton film Harry Potter dkk ikut menikmati uang rakyat yang sepatutnya bisa digunakan untuk mengentaskan orang miskin.
Masih sangat banyak kabupaten/kota di Indonesia yang masyarakatnya tidak bisa menikmati hiburan bioskop. Padahal belum tentu tidak ada potensi pasar dan pebisnis yang mau membangun bioskop di sana.
Secara legalistik formal masuknya film-film Harry Potter 7 dan Transformer dilakukan secara ilegal. Film-film itu masuk masih menggunakan PT Omega Film yang diblokir.
Direksi Omega Ajay Fulwani yang tak lain adalah kemenakan dari Haris Lesmana, salah satu bos besar di Grup 21. Fakta kedua, Ajay sudah lama bekerja di Grup 21, milik sang paman.
Jangan sampai kegemaran kita pada film-film MPAA membuat kita mau saja membiarkan pihak asing tidak mau ikut aturan di negeri ini. Jangan biarkan monopoli terus meranggas.