Artikel Wawancara
Sinematografi film ini berbeda dari film-film remaja lainnya, di sini dunia remaja bukan gambar lembut dan cerah berwarna-warni mencolok yang menyarankan keceriaan dan semacam kenaifan melainkan gambar tajam yang berwarna cenderung realistis dan berkesan kontemplatif.
Cinema Lovers Community (CLC) adalah komunitas lokal yang sudah membuktikan diri tahan banting. “Puncak” kegiatan komunitas ini adalah Festival film Purbalingga yang berlangsung setahun sekali selama bulan Mei. Festival ini juga punya program unik: Layar Tanjleb yang diadakan dari desa ke desa. Hambatan-hambatan yang dihadapi komunitas ini membuka mata para pengurusnya bahwa kegiatan “mencintai” film ternyata harus berhadapan dengan urusan sosial-politik lokal, seperti bisa dibaca dari wawancara Windu Jusuf, penulis FI dan Cinema Poetica dengan para aktivis CLC berikut.
Saya justru menyayangkan soal distribusi layar bioskop. Katakanlah begini, seharusnya ada kesempatan bagi film-film Indonesia untuk jadi tuan rumah. Kasih kesempatan lebih besar agar jumlah orang yang nonton juga makin banyak.
2014 menjadi tahun perkenalan Oka Antara bagi khalayak perfilman internasional. Dua film yang ia perankan, Killers dan The Raid 2, tayang perdana di Sundance Film Festival pertengahan Januari silam. Killers sudah beredar di bioskop nasional awal Februari lalu, sedangkan The Raid 2 baru akan tayang Maret mendatang.
Obrolan dengan Sastha Sunu ini bertujuan untuk menyingkap proses kerja seorang editor, suatu profesi yang terhitung jarang terekspos ke publik. Di kalangan pekerja film, penyunting gambar kerap disebut sebagai ‘sutradara kedua’.
Mouly Surya bercerita tentang proses kreatif Don’t Talk Love, mulai dari pengembangan cerita, pemahaman komunitas tuna netra, penerjamahan ruang, hingga penyusunan gambar. Mouly juga bercerita tentang perkembangan dirinya sebagai pembuat film dan peredaran film-filmnya.
Lola baru saja meluncurkan film layar lebar produksinya yang kelima, Kisah 3 Titik (K3T). Ia bercerita kepada FI tentang produksi film, berburu bakat-bakat baru dan juga tentang masa awal keterlibatannya di dunia film.
Aktor kelahiran 24 Maret 1982 ini bercerita tentang pengalamannya di Tampan Tailor dan Madre, proses kreatifnya, kariernya, rekan-rekan satu profesinya, krisis keaktoran di perfilman nasional, serta keinginannya untuk menyuarakan aspirasi anak muda lewat film.
Profesi Trisno sebagai perekam suara menentukan bagaimana suara bisa direkam sebaik mungkin dan sesuai dengan latar serta tuntutan sebuah cerita. Meskipun ia secara tidak sengaja menekuni profesi ini dan tanpa pendidikan formal, ia mengaku pekerjaan ini membuatnya ketagihan.
“Ibu saya seorang penari dan sangat aktif di teater... Pengalaman melihat ibu di panggung yang membuat saya tertarik untuk terjun ke seni peran,” tutur Reza Rahadian. Selama satu jam lebih, ia bercerita tentang proses kreatifnya di Habibie & Ainun, kecintaannya pada seni peran, dan pengalamannya sebagai aktor di Indonesia.