Artikel

Restorasi film Lewat Djam Malam jadi studi kasus dalam program pendidikan restorasi film yang diadakan oleh federasi arsip film internasional (FIAF) di Bologna, Italia, pada Sabtu 30 Juni 2012.
Buku Lewat Djam Malam Diselamatkan kini bisa diunduh gratis, sebagai referensi perihal film Lewat Djam Malam serta proses restorasinya. Publik juga bisa mengakses video singkat yang membandingkan kualitas gambar Lewat Djam Malam sebelum dan sesudah direstorasi.
Penonton Indonesia kini bisa menikmati Lewat Djam Malam sebagaimana yang diniatkan Usmar Ismail 58 tahun silam. Lewat Djam Malam sudah selesai direstorasi dan beredar di jaringan bioskop 21 dan Blitz mulai tanggal 21 Juni 2012.
Soegija ini tidak boleh ditonton secara serius, juga tidak boleh memaksa diri untuk menangis, marah, atau terbawa suasana. Ini bukan film semacam itu.
Kritikus senior Pierre Rissient pernah menonton Lewat Djam Malam pada tahun 1977, ketika pertama kali berkunjung ke Indonesia. Pada masa itu, Rissient menonton karya Usmar Ismail ini tanpa subtitel, menikmati gambar-gambar sambil berusaha merangkai sendiri persepsinya tentang isi film itu.
Dunia film Indonesia belum pernah kukuh berdiri pada kakinya sendiri. Dia selalu berada dalam buaian dukungan pemerintah. Maka ketika dukungan dilepaskan, tertatih-tatih pulalah jalan mereka.
Dalam waktu dekat, publik Indonesia bisa menikmati hasil restorasi Lewat Djam Malam. Film Usmar Ismail tahun 1954 tersebut akan beredar di jaringan bioskop 21 Cineplex dan Blitzmegaplex mulai 21 Juni 2012. Rangkaian pemutaran pertama di Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Bandung, Yogyakarta, Semarang, dan Surabaya.
"Seni peran ini kan juga penciptaan ya, penciptaan sebuah karakter. Antara film saya yang ini dengan film saya yang lain, pasti karakternya berbeda. Di situ saya mencipta, mencipta, dan mencipta lagi."
Donny Damara, Tio Pakusadewo, Wulan Guritno, dan Raihaanun terpilih sebagai yang terbaik dan terfavorit pemeran utama pria dan pemeran utama wanita dalam Indonesian Movie Award (IMA) yang memasuki tahun ke enam penyelenggaraannya.
"Dulu kami selalu takut kalau Soegija dianggap film Katolik. Salah-salah orang kira ini film dakwah. Ini film tentang nasionalisme. Dan renungan-renungan Soegija sangatlah universal. Itu yang kami tekankan."