Tinjauan
Nampaknya kebutuhan pemasaran bicara begitu lantang, sampai-sampai logika dipaksa pergi libur Lebaran. Korbannya adalah keseluruhan film La Tahzan: serba dipaksakan, serba diada-adakan.
Film terkait: La Tahzan
Tak peduli ideologi dan afiliasi politiknya, tokoh-tokoh (khususnya yang masih hidup) dalam biografi di Indonesia saat ini adalah penjual harapan yang selalu tampil “merakyat". Film Jokowi tidak beranjak dari pola itu, tapi boleh jadi hanya itu yang kini laku.
Film terkait: Jokowi
Sekilas, Cinta dari Wamena mengingatkan akan Jangan Menangis Sinar. Prinsip yang dibawa serupa: ceritanya nun jauh di pelosok negeri sana, tapi pengakuannya dari Jakarta. Seakan-akan suatu cerita belum sah sebagai sebuah cerita kalau tidak disangkutpautkan dengan ibukota.
Film terkait: Cinta dari Wamena
Cinta dalam Kardus menjadi angin segar tersendiri di tengah film-film komedi lokal belakangan ini yang kebanyakan berprinsip apapun-yang-penting-nyeleneh (salah satunya Cinta Brontosaurus, yang juga dibintangi Raditya Dika).
Film terkait: Cinta Dalam Kardus
Film ini tidak main-main memberi janji hiburan. Lihat saja poster filmnya. Keempat personil grup vokal Coboy Junior menari-nari dengan gelimangan cahaya warna-warni. Glamor, dan memang filmnya hanya seputar itu, plus perkara moral yang diada-adakan.
Film terkait: Coboy Junior The Movie
Andai saja Rako Prijanto dan kawan-kawan tidak kebelet ingin memukau penonton dengan adegan-adegan perang yang membahana, benang merah KH Hasyim Asy’ari akan terjaga utuh hingga akhir film. Pembangunan sosok beliau bisa lebih tepat pada konteks zamannya, tidak seperti impuls pribadi semata.
Film terkait: Sang Kiai
Cinta Brontosaurus mengingatkan akan klise-klise dalam film komedi-roman Indonesia. Lelaki bisa berbuat salah, tapi perempuan seakan-akan tak punya reaksi lain selain mengambek, mata melotot, bentak-bentak. Ternyata bukan cinta saja yang bisa kadaluarsa. Film juga.
Film terkait: Cinta Brontosaurus
Mouly Surya dalam film keduanya ini malah memilih menempuh jalan pedang sebagai ronin (samurai tak bertuan) yang jauh penuh risiko. Itulah jalan para petarung sejati yang, dalam idealisasi budaya populer, digambarkan tidak sudi menghabiskan umur sebagai mediocre, untuk menemukan jatidiri dan takdirnya sendiri.
Film terkait: Yang Tidak Dibicarakan Ketika Membicarakan Cinta
Jarang sekali ada film Indonesia yang mengutak-atik persoalan dasar ‘film’ dan mempertanyakan kesatuan pandangan-pendengaran. Pada Yang Tidak Dibicarakan Ketika Membicarakan Cinta elemen pandang-dengar ini bukan saja diceraikan, tapi lebih jauh lagi, dijadikan bahan percobaan. Film seperti ini, barangkali hanya dibuat (jangankan diputar) di Indonesia seabad sekali.
Film terkait: Yang Tidak Dibicarakan Ketika Membicarakan Cinta
Ada rasa amarah menggelegak di hati para pembuat film Kisah 3 Titik yang diproduseri oleh Lola Amaria. Membandingkan film ini dengan film yang ia sutradarai sebelumnya, Minggu Pagi di Victoria Park, kesan paling menonjol adalah bahwa Kisah 3 Titik lebih merupakan film produser, sementara anggota lain bertindak lebih sebagai penyalur gagasan, yang bekerja dengan baik bahkan sangat baik.
Film terkait: Kisah 3 Titik