Artikel

Banyak cara lain di luar utak-utik ketidakseimbangan beban pajak, bila pemerintah ingin membantu perfilman Indonesia.
Noorca Massardi mengeluarkan pernyataan tertulis yang memicu perdebatan mengenai situasi impor film di Indonesia saat ini. Pernyataan ini kami kutipkan sebagaimana terbit.
Tulisan ini merupakan rangkuman dari pernyataan yang dibuat Deddy Mizwar dan Rudy S Sanyoto yang mereka sampaikan dalam jumpa pers tentang kebijakan film nasional dan masalah pajak film impor di Jakarta pada Minggu 20 Februari 2011.
Perdebatan ada dan tidak adanya monopoli ini tentunya akan terus berlanjut, karena secara de-jure memang benar praktek monopoli tidak dibenarkan keberadaannya. Sementara di lain pihak secara de-facto ia benar-benar ada.
Ada kekisruhan yang entah disengaja atau tidak dalam polemik tentang pajak impor film beberapa hari belakangan ini. Kenapa importir film, pengusaha bioskop Grup 21, dan perwakilan MPA (Motion Pictures Association yang mewakili studio-studio besar AS), meributkan hal yang sudah lazim berlaku ini?
Tujuan pemerintah memberlakukan pajak ini, seperti diberitakan berbagai media, adalah untuk mendukung industri perfilman nasional sehingga dapat bersaing di pasar domestik. Tujuannya sebenarnya baik, namun apabila ditelaah lebih mendalam, ternyata tidaklah tepat pada sasarannya dan justru berpotensi makin mempersulit industri film nasional.
Memahami ekonomi film dengan menelusuri liku-liku dan politik dagang dari sejarah importir film di Indonesia.
Ody Mulya Hidayat, produser Maxima Pictures, menguraikan kiat sukses film-filmnya.
Sudah tiga dekade Muchus dikenal sebagai aktor. Tahun ini ia memulai debut pertamanya sebagai sutradara dalam film Rindu Purnama. FI menemui Muchus pada 7 Februari 2010 di Jakarta, tepat sebelum film debutan-nya beredar.
Ketegangan yang terjadi antara dunia film dan masyarakat sebenarnya lebih tepat dikatakan dengan sebagian masyarakat yang merasa wajib menjadi “penjaga moral keluhuran nilai-nilai subversi-nasionalisme-politik” dan sebagainya.